chapter 05.

3.5K 412 52
                                    

Angin malam berhembus lirih menerpa rupa tampan seorang pemuda. Surai legam sedikit panjang itupun bergerak mengikuti arah angin hingga menutup setengah wajahnya. Pemuda itu tak terusik, entah apa dalam benaknya. Pandangannya lurus ke depan menatap betapa gelapnya lingkungan disekitar. Kesepuluh jari cantiknya bergerak gelisah mengetuk, sesekali dieratkan pada balkon kamarnya.

Pemudah pemilik nama Asahi itu lantas menutup netra cantiknya. Mengambil napas kuat-kuat lalu dihembuskan seraya menenangkan gemuruh aneh dalam dadanya. Dirinya juga tak mengerti mengapa tubuhnya menjadi seperti ini. Rasanya aneh, dalam hatinya gelisah namun tak bisa dipungkiri dirinya sangat bersemangat seperti sesuatu menggelitik dalam perutnya.

"Aku pasti sudah gila " Ujarnya sambil menertawakan dirinya sendiri.

Benar, menurutnya dia ini gila. Semenjak pemuda dibalik tembok sekolahnya menyampaikan selembar kertas yang isinya cukup membuat Asahi terkejut. Pemuda itu akan menemui Asahi. Gilanya Asahi sudah sibuk mempersiapkan dirinya semenjak pulang dari sekolah. Asahi bergegas mandi, mengeluarkan baju terbaiknya hingga Mashiho mengomel karena lemarinya berantakan tanpa Asahi sadari bahwa siapa manusia yang berani menembus penjagaan ketat di rumahnya. Djaelani hanya pemuda sederhana tanpa pangkat apapun tersampir diantara namanya. Lebih gilanya lagi, Asahi masih setia berdiri ditengah dinginnya malam menunggu kedatangan pemuda itu.

"Ahh..."

Tubuh Asahi menegang takut kala suara rintihan terdengar oleh telinganya yang sensitif. Malam hari ini sungguh gelap gulita dan Asahi yakin banyak perampok yang mengincar rumah mewah di komplek Bendara Hyunsuk.

"Ughh.."

Bahu Asahi semakin bergetar, matanya Ia tutup rapat terlalu takut dengan kemungkinan yang akan terjadi di detik selanjutnya. Bibirnya terlalu kelu untuk sekedar berteriak meminta tolong.

"Hamada Asahi?"

Asahi mendadak menjadi patung. Ia tau betul suara siapa meskipun tak pernah sekali dirinya berbicara langsung. Asahi ingat bagaimana suara yang sedikit serak berteriak menantang tentara Jepang demi melindungi ibunya. Suara dimiliki pemuda yang sejak tadi mengusik batin dan pikirannya. Alasan dirinya berdiri menantang angin malam. Asahi sedikit tersentak kala Indra penciumannya menghirup wangi tubuh pemuda yang telah ikut berdiri disampingnya. Asahi menatapnya lamat dari ujung rambut hingga ujung sepatunya. Sedangkan pria yang ditatap hanya berdiri tegap dengan senyum konyolnya.

"Bagaimana kau bisa sampai kemari?" Tanya Asahi dengan raut kebingungan. Mendadak takut juga tiba-tiba ada yang masuk kamarnya atau penjaga di bawah menyadari adanya interaksi mereka di balkon yang cukup terang.

Jaehyuk tersenyum bangga, "Sayangnya tidak ada yang menjaga genteng."

Asahi menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan pria dihadapannya ini. "Bahaya, jika jatuh bagaimana?"

"Pilihannya hanya ada dua, mati kehabisan darah atau mati ditangkap tentara tuan." Jawabnya enteng. Tak ada rasa takutpun dari bibirnya.

Asahi mendecak sebal, dirinya hanya melirik sinis pria dihadapannya sebelum kembali menatap luasnya bidang pandang dalam kegelapan di depannya sembari menetralkan degup jantungnya. Sejujurnya, Asahi lebih memilih bertukar surat melewati jendela saja daripada harus berhadapan langsung dengan pria ini. Terlalu bahaya menurutnya, apalagi saat hidung yang teramat sensitif mulai menyambut wangi tubuh itu rasanya mual, suhu tubuhnya mendadak memanas.

"Ada maksud apa kau datang kemari?" Tanya Asahi memecah keheningan. Asahi juga tahu bahwa tidak mungkin pria ini hanya iseng menemuinya. Datang kemari itu bertaruh nyawa.

"Apa di dalam kamarmu hangat?"

Asahi menoleh dengan cepat. Sungguh tak sopan pria ini baru datang sudah ingin menjajal kamarnya.

1942 / jaesahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang