chapter 06.

2.7K 403 84
                                    

⚠️harsh words, violent act⚠️

Letnan Hamada memasuki mansion besarnya. Telah terhitung 3 minggu lamanya Ia meninggalkan sosok anak semata wayang bertugas ke Batavia. Dengan sepatu berat Ia berjalan gagah, suara hentakannya mengisi kesunyian yang ada. Mata elangnya Ia pendarkan disekelilingnya. Nihil, anaknya tak ada disana, bahkan indra penciuman nan tajam tak mendeteksi feromon sang anak. Hanya bau-bau aneh yang bercampur. 

"Bau apa ini?" Tanya Letnan Hamada saat hidungnya tampak menangkap bebauan baru. 

Tak ada jawaban dari anak buah dan beberapa penjaga rumah yang telah berkumpul, berdiri rapih bak sebuah pagar. Mereka mencoba menajamkan penciumannya, yang manusia tak mencium bau aneh apapun. Prajurit werewolf benar mencium bau aneh, namun tak tahu apa itu. 

"PENJAGA BODOH! APA KALIAN TIDAK BEKERJA? BAGAIMANA ORANG TAK DIKENAL BISA MASUK DALAM MANSION?!"  Amuknya, suaranya tinggi dan tegas membuat seluruh yang ada di ruangan menunduk takut. Letnan Hamada hanya mengambil kesimpulan bahwa ini bau feromon orang asing. 

"Mohon ampun Letnan. Selama Letnan pergi tak ada orang asing yang datang." Sahut salah satu rewang wanita. Beliau salah satu ketua rewang di mansion besar, yang paling senior.

Letnan Hamada terdiam, namun dari rautnya masih ada rasa penasaran. "Hamada Asahi, dimana anakku?!"

"Ada di kamarnya Letnan. Tuan Hamada sedang tidak sehat sejak dua hari lalu." Kali ini Mashiho yang menjawab. Ia baru keluar dari kamar terluas kedua, mengantar sarapan untuk Asahi.

Letnan Hamada pun masuk mengedarkan pandangannya ke dalam kamar khas gaya Belanda berwarna dominan putih. Sorot matanya menemukan sosok sang anak sedang tidur, diikuti balutan selimut tebal. Bibirnya pucat melebihi warna kulitnya yang memang putih sehat. Tak perlu diberi tahu Letnan Hamada telah mengambil kesimpulannya sendiri bahwa sang anak sedang tidak sehat. 

Letnan Hamada adalah Letnan Hamada, lelaki paruh baya lembut yang telah berubah menjadi sosok begitu dingin dan kejam. Beliau hanya berdiri diambang pintu kayu jati lantas keluar tanpa perlu menengok sang anak semata wayangnya lebih dekat. 

"Panggil ahli kesehatan." Katanya dingin pada siapapun di ruangan lantas menjauh menuju kamar utamanya di lantai atas. 

Pesuruh senior itu dengan cekatan keluar mansion untuk pergi ke salah satu rumah disamping mansion lainnya milik seorang dokter kebanggaan angkatan laut Jepang. Tanpa menunggu terlalu lama sang dokter mengambil tas berisi alat kesehatan dan berlari masuk ke dalam rumah. 

Mashiho yang masih berdiri paling dekat dengan pintu kamar mempersilahkan masuk sang dokter. Ia pun memilih mengikuti dokter ke dalam kamar dan meninggalkan Yoshi, matenya untuk menjaga pintu di luar. 

Asahi benar lemah, pemuda berkulit putih bersih itu hanya sanggup menutup mata dengan kedua telapak di atas perutnya merasakan gejolak tak nyaman di dalam. Semakin Asahi bergerak akan menyebabkan seluruh asupannya pagi ini berakhir di tempat pembuangan air.  Asahi berjengit pelan merasakan dinginnya permukaan stetoskop saat menyentuh kulitnya. Selanjutnya jemari lincah sang dokter bergerak menekan perut ratanya.

Dokter itupun tersenyum meskipun Asahi tak membuka matanya sama sekali. Ia pun tak lupa membenarkan kembali letak kemeja yang tersingkap sedikit. 

"Saya akan sampaikan berita bahagia ini pada Letnan Hamada. Beliau pasti juga ikut senang." Ucap dokter itu sembari menata peralatannya dalam tas kesehatan. 

Perlahan iris cantik itu terlihat, menatap seperti meminta kepastian bahwa apa yang ada dalam pikirannya dengan hasil pemeriksaan itu sama adanya. Saat dokter itupun mengangguk, raut wajah Asahi berangsur sedih juga takut. Takut akan apa yang akan terjadi setelah ini.

1942 / jaesahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang