chapter 09.

2K 342 70
                                    

9 Agustus 1945

Satu... dua... satu... dua... tiga... tiga...

Pagi hari yang hangat, sedikit ramai akan hiruk pikuk warga desa. Ada yang berangkat ke pasar untuk berbelanja atau membuka dagang. Ada yang berjalan beriringan dengan arit dan rantang untuk menggarap kebun serta sawah. Inilah keadaannya sekarang, tepat 3,5 tahun Indonesia tunduk dihadapan pemerintahan Jepang. Tiap-tiap hari mendengar berita kemalangan namun hidup tetaplah hidup yang harus berjalan.

Desa adalah tempat paling membahagiakan, begitulah yang pemuda Jepang ini rasakan. Entah desa ini kurang kaya atau lahan resmi yang memang sebagian besar telah dimiliki pengusaha Belanda hingga tak pernah terdengar tentara Jepang datang berkunjung. Beruntunglah Ia dan matenga diboyong kemari. Anaknya lahir dan tumbuh dengan baik, dikelilingi kasih sayang pun ketenangan bukan suara teriakan dan tembakan. Taraf hidupnya meningkat, bukti kerja keras sang suami. Beginilah Asahi, si anak letnan Jepang istri pengabdi negeri.

Omega dewasa itu membenarkan letak gendong sang putra kala pendengaran tajamnya menangkap suara tegas dari jauh. Itu kumpulan tentara yang tengah berlatih fisik, seperti biasa berlari pagi bersama melintasi seluruh desa. Kegiatan pagi yang selalu Asahi lakukan semenjak alpanya bergabung dengan militer, mengajak putranya menyapa sang Ayah dipinggir jalan. Sama seperti tetangga yang lain. Dibandingkan dulu, penontonnya lebih banyak. Tentu saja, pemuda lusuh nan kurus telah menjadi sosok gagah dengan dada bidang serta otot kuat. Asahi tak mengerti, kadang kala para tentara berlatih fisik tanpa atasan, sengaja menjadikan tubuhnya sebagai tontonan. Asahi sempat protes akibat cemburu namun suaminya berkilah bahwa sayang jika baju dinasnya terkena keringat.

Dari jarak 100 meter, senyum alpa dewasa itu merekah. Netranya menemukan istri manisnya dan sang putra berdiri ditempat yang sama tiap paginya. Rasa rindu menyapa, sudah empat hari tak bersua. Yah, sudah menjadi kewajibannya, setidaknya hari ini Kamis yang mana sore nanti mereka akan pulang, memulai hari libur. Sudah seperti ini siklusnya.

"Yah.. Yah..." Celoteh bayi yang tepat hari ini berumur 1 tahun.

Yoon Ryuditya, bayi alpa hasil cinta Yoon Jaehyuk dan Hamada Asahi. Naga yang menjadi matahari bagi keluarga kecil Yoon. Keduanya sepakat menggunakan kembali marga milik Jaehyuk, ditambah nama panggilan Ryu yang berarti naga dalam bahasa Jepang dan Aditya bermakna matahari dalam bahasa sansekerta. Seperti sang ibu, Hamada Asahi yang berarti sinar matahari pagi. Memiliki dua matahari dihidupnya, Jaehyuk tak lagi merasa gelap.

"Iya itu Ayah.. Ayah!" Asahi mengambil tangan kecil milik sang bayi, membantunya melambaikan tangan diikuti suaranya yang dibuat menyerupai anak kecil.

Jaehyuk tertawa, ikut melambaikan tangan dibarisan agak belakang. Kawan yang lain ikut memekik gemas akan bayi turunan Jepang dan Semenanjung Korea. Kulitnya putih sehat sama seperti sang ibu, serta wajah terlihat ganteng lain daripada bayi asli Indonesia.

Jaehyuk keluar sejenak dari barisan, sudah menjadi kebiasaan. Memberikan kecupan sayang diseluruh wajah sang anak dan istrinya tanpa rasa malu.

"Jae udah, adeknya risih!" Asahi memukul pundak suaminya kala anaknya tengah merengek. Tangan kecil sang bayi juga berusaha menyingkirkan wajah sang ayah.

"Dia lucu." Jaehyuk menyudahi aksinya, namun masih mencubit pipi gembil sang bayi akibat gemas.

"Sana kembali latihan, kamu bau keringat."

Jaehyuk mengangguk, ingin lekas pergi tapi tak tega. Rasa rindu akan keluarga kecilnya menguasai. Ia mencium kening istrinya dan puncak kepala sang anak sebelum menyusul rombongan yang sudah berlalu jauh. "Nanti sore aku pulang. Selamat bertambah umur anak ayah."

1942 / jaesahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang