Sabtu petang menjelang pesta karnaval. Di tepi hutan, kira-kira setengah jam perjalanan dari desa Hohenthal, berdirilah suatu kelompok gedung hitam di atas gunung batu yang curam. Cerobong asapnya yang mengepulkan asap menjulang tinggi ke langit. Inilah tambang batu bara Gottes Segen*2).
Sirene mengaung menandakan waktu kerja berakhir. Dari dalam tambang para pekerja diangkat ke atas, bajunya hitam kotor, penuh dengan debu arang.
Sejak tengah malam mereka telah bekerja jauh di bawah, dalam tanah. Kini mereka dapat mengisap kembali hawa segar di luar tambang, sedangkan kelompok lain menggantikannya bekerja di bawah.
Sebagian penduduk dari desa-desa miskin di daerah Pegunungan Batu di Saksen, terdiri dari orang-orang yang saleh dan taat beribadat. Para pekerja yang mendapat giliran istirahat berdiri mengerumuni pengawas, lalu melipat tangannya. Mereka mengucapkan terima kasih dalam doa kepada Tuhan yang Maha Esa, bahwa Tuhan telah melindungi mereka terhadap segala mara bahaya, lalu beramai-ramai mereka menyanyikan nyanyian pujian.
Setelah itu para pekerja beramai-ramai pergi menghadap kepada Tuan administratur untuk menerima upah mingguan.
Seorang demi seorang dipanggil masuk. Tuan administratur itu seorang pendiam dan pembenci sesama manusia; ia biasa menggeserkan uang upah kepada pegawai yang bersangkutan tanpa berkata sepatah kata pun, lalu memberi isyarat dengan muka muram, supaya secepatnya pekerja itu meninggalkan ruangan. Maka merasa heranlah mereka mendengar, bahwa sekali ini mereka diperintahkan menunggu depan kantor.
Hari amat dingin, salju setebal semeter menutupi tanah dan masih terus menerus turun salju. Para pekerja menggigil kedinginan karena pakaian mereka tipis-tipis, tak sesuai dengan hawa sedingin itu. Akan tetapi Tuan administratur tak peduli, setelah ditunggu lama baru ia keluar.
"Atas perintah Baron Von Wildstein saya umumkan, bahwa mulai hari ini setiap pekerja terpaksa upahnya dikurangi seharinya sepuluh pfennig. Meskipun sekarang ini musim dingin dan keperluan akan batu bara bertambah, namun penjualan berkurang disebabkan oleh jalan-jalan yang tertimbun oleh salju sehingga tidak dapat dilalui. Lagi pula biaya pengolahan pabrik bertambah besar. Itu sekedar yang hendak saya umumkan !"
Pekerja-pekerja tambang saling memandangi dengan pandangan yang membayangkan ketakutan. Di sana sini terdengar bisik-bisik dan sungut tertahan-tahan. Akhirnya seorang pekerja yang sudah agak tua usianya memberanikan diri dengan bertanya,
"Kalau begitu Tuan katanya ragu-ragu, malang benar nasib kami. Tahukah Tuan, berapa besarnya upah yang baru saya terima?"
"Tentu tahu. Enam mark !"
"Enam mark itu untuk satu minggu penuh. Enam mark untuk kerja berat selama tujuh puluh dua jam dalam tambang. Enam mark untuk enam hari kerja, masing-masing terdiri dari dua belas jam kerja di bawah ancaman bahaya maut setiap waktu. Jika itu menurut pendapat anda tidak cukup, anda bebas mencari pekerjaan lain. Jelaskah demikian?"
"Itu tak dapat saya lakukan. Tuan tahu, daerah ini hanya didiami oleh pekerja tambang dan penenun. Saya tak pandai menenun, karena penglihatan saya kurang baik dan tambang lain tak ada di daerah ini. Terpaksa saya harus tetap bekerja di sini."
"Nah, kalau begitu maka jangan banyak bicara !"
"Bukan maksud saya mengeluh, Tuan. Akan tetapi saya ingat akan delapan mulut di rumah saya, yang harus saya beri makan dengan uang enam mark itu. Percayalah Tuan, sudah lama kami menderita lapar serta kedinginan. Bagaimanakah kelak nasib kami ini?"
"Itu bukan urusanku. Yang kulakukan hanyalah tugasku dan tugas itu untuk menyampaikan pesan dari Baron. Barang siapa tidak setuju, tidak diharuskan kembali lagi. Akan pengganti mereka, saya yakin tidak akan kekurangan."

KAMU SEDANG MEMBACA
HANTU HUTAN DI PERBATASAN
AventuraSebuah terjemahan dari buku tua berbahasa Jerman berjudul Das Buschgespenst karya Karl May. Karl Friedrich May (lahir di Hohenstein-Ernstthal, Chemnitzer Land, 25 Februari 1842 - meninggal karena sakit paru-paru di Radebeul, Meissen, 30 Maret 1912...