Biasanya, pemuda ini hanya akan menikmati hari Sabtu-nya dengan cara bermalas-malasan di rumahnya. Bahkan biasanya, dirinya pasti akan berebutan remote televisi dengan adiknya demi bisa menikmati acara kesukaannya. Tapi, khusus untuk Sabtu ini- sepertinya tidak akan ada yang namanya bermalas-malasan lagi.
Theodore, namanya. Si sulung kebanggaan Keluarga Aldebaran.
Pemuda itu kini sudah menempati bangku panjang yang- kebetulan kosong -tersedia di taman kampusnya. Ditemani dengan pepohonan rindang yang daunnya jarang, dan burung-burung yang sudah waktunya untuk kembali menuju persemayamannya.
Arloji yang sejak awal bertengger dipergelangan kirinya bahkan sudah menunjukkan angka lima lebih lima menit. Semburat mentari sudah menunjukkan sinar terakhirnya, pertanda bahwa dirinya sudah berada dipenghujung hari.
Normalnya, Theo sudah berleha-leha di rumahnya sejak pukul satu siang tadi. Yang artinya, pemuda itu sudah memakan waktu sekitar empat jam hanya untuk rebahan dibangku taman.
Tangannya terlipat dijadikannya sebagai bantalan kepala, ranselnya dibiarkan begitu saja diatas perutnya. Sepasang mata legamnya menerawang lurus menatap langit yang perlahan menguning. Kakinya bergoyang-goyang kecil tidak mau diam.
Dilihat dari pemandangannya saja, orang pasti akan berpikiran kalau Theo ini tidak ada kerjaan. Kalau hanya untuk tiduran seperti itu, bukankah di rumah jauh lebih nyaman? Bahkan ada kasur empuk dan selimut lembut yang saling melengkapi, tak lupa juga dengan pendingin ruangan.
Ah... mantap.
Lalu, untuk apa Theo disana? Tidak tahu.
"Adimas Baskoro Purnomo Senjo."
Begitu mulutnya bersuara, ketika sepasang netranya tak sengaja menangkap sosok jangkung yang berjalan begitu saja melewatinya. Tidak melihat keberadaannya yang sedang menyamar menjadi bangku taman.
Yang disebut namanya menoleh, agak terkejut.
"Weh, Al?! Ora mulih, sampeyan?"
Theo mengubah posisinya menjadi duduk ketika sosok yang disapanya berhenti, mengurungkan langkahnya.
"Nungguin lo."
Pemuda yang bernama Adimas itu mendelik tak percaya, memasang tampang meledek.
"Idih? Lo nungguin gue? Kiamat yang ada."
"Lah? Emang salah?"
"Ya, sejak kapan, coba, lo nungguin gue kalau nggak ada perlu?"
Dimas akhirnya ikut duduk disebelah Theo.
"Sejak saat ini."
Dimas menyeringai geli, "Gue tanya- jadi... lo lagi nungguin Suzan apa Junika?" Dimas menuding dengan telunjuknya, "...apa malah-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika Liku Jejak Luka
RandomYang namanya hidup, pasti langkahnya penuh dengan lika-liku. Dan pastinya... selalu diselingi dengan luka. Baik itu luka fisik, maupun non-fisik. Meskipun tak terlalu nampak, karena para bujang dan mojang Karawang ini selalu pandai menutupinya. Hing...