Part 11 Pasar

380 105 4
                                    

"Beneran gak berat Mas?"

Jevan mengulum senyum dan kembali menggeleng mendengar pertanyaan Fitri yang sebenarnya sudah ke lima kali sejak mereka menjauh dari pekarangan rumah perempuan itu.

"Enggak Fit. sekali lagi kamu nanya pertanyaan yang sama kita jalan kaki aja" jawab Jevan ringan, kakinya dengan santai menggoes sepeda tua milik neneknya.

Fitri meringis, tanganya mencengkeram ujung kaos Jevan sebagai pegangan.

"Takut nya Mas Jevan keberatan, soalnya aku makan banyak akhir-akhir ini" ujar Fitri sembari mengamati jalanan sekitar. Ternyata ke pasar naik sepeda tidak seburuk itu, bahkan lebih menyenangkan mungkin dibandingkan naik sepeda motor.

"Bagus dong kalo makan banyak, ini belok kanan atau kiri?" tanya Jevan ketika matanya menangkap jalan yang bercabang.

"Kanan" Jevan segera menggerakkan stang sepedanya ke arah yang ditunjukkan Fitri.

Jalan beraspal yang mereka lalui tidak terlalu ramai, hanya beberapa sepeda motor nya yang berlalu lalang. Didominasi anak sekolah yang dalam perjalanan menuju tempat menimba ilmu.

Malam nanti akan ada acara yasinan dirumah Mbah Uti untuk kembali mendoakan almarhum Mbah Kakung. Sangat tidak mungkin Mbah Uti yang harus ke pasar untuk membeli makanan ringan untuk acara. Biasanya ibu Fitri yang mengambil peran tapi seperti nya ibu sengaja menyuruh Jevan yang pergi dengan Fitri yang menjadi menuntun jalan karena pemuda itu belum menghapal jalan walau sudah hampir sebulan disini.

"Catatan nya tadi kamu bawa kan Fit?" tanya Jevan tanpa menoleh kebelakang. Dia harus fokus ke jalan, oleng dikit anak orang yang jadi taruhannya.

"Bawa kok, Mas Jevan tadi udah ijin Mbak Laras belum?"

Jevan mengangguk, tak jauh di depan sana pasar yang mereka tuju sudah terlihat.

"Sudah, selagi gak ada yang melahirkan Mbak Laras gak masalah katanya" jawab Jevan yang diangguki Fitri.

Jevan menghentikan laju sepeda nya di parkiran yang penuh dengan sepeda motor. Ya, dijaman sekarang memang langka melihat orang kemana-mana naik sepeda ontel.

Fitri turun dari boncengan, gadis itu meringis pelan karena boncengan yang ia duduki hanya besi tanpa bantalan. Ya, maklum namanya sepeda tua. Tapi Jevan menyadari hal itu walau Fitri tidak mengeluh secara langsung.

Jevan menitipkan sepedanya ke tukang parkir yang berjaga sebelum meraih tangan Fitri guna menyebrang jalan agar bisa masuk ke dalam pasar.

Gadis itu tersentak kecil, merasakan balutan hangat yang merambat dari telapak tangan yang digenggam lembut.

Fitri hanya membisu, bahkan Jevan tidak melepas genggaman mereka setelah masuk ke dalam pasar.

"Yang dibeli apa dulu?" tanya Jevan sedikit merunduk.

Fitri segera mencari kertas yang tadi ibu nya berikan padanya. Melihat Fitri yang kesulitan dengan tangan kirinya Jevan sontak melepas genggaman mereka dengan sedikit merasa bersalah.

"Maaf, terlalu nyaman soalnya" ujar Jevan tenang. Fitri mengulum bibirnya mencegah agar tidak tersenyum. Gadis itu kembali mencari kertas di dalam dompetnya.

"Ayam. Ibu mau bikin soto ayam katanya" ujar Fitri setelah membaca deretan huruf disecarik kertas yang dia pegang.

Jevan mengangguk, Fitri segera memimpin jalan karena dia tahu tempat penjual ayam langganan ibu nya.

"Bulek, Fitri tumbas ayamnya 2 kilo ya" ujar Fitri ramah pada ibu-ibu yang mengenakan celemek lusuh yang membalut tubuh gempal nya.

"Siap neng cantik. 2 kilo aja nih?" tanya bulek yang segera diangguki Fitri.

[2] FITRI ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang