Bagian 7

402 94 15
                                    

Diterik matahari yang begitu nyentrik, sepasang ayah dan anak itu sedang asik berkebun di halaman belakang rumah mereka. Sang ayah meminta kepada sang putra untuk membantunya menanam sebuah pohon mangga yang kemarin ia beli dan disanggupi oleh sang anak.

Bagas dengan perlengkapan berkebunnya sudah siap untuk menggali lubang berdiamter sedang dengan pacul yang ia bawa, sementara Narendra juga sudah siap dengan perlengkapannya membantu menyingkirkan tanah basah tersebut agar tidak kembali masuk ke dalam lubang yang dibuat oleh sang ayah.

"Kak itu rumputnya kamu cabutin, abis itu masukin ke kresek biar nanti papa buang" ujarnya dan di angguki oleh Narendra.

Ia pun langsung mencabuti rumput liar disekitar galian sang ayah, meskipun panas dan kotor tapi tidak menurunkan semangat mereka berdua. Katanya sih pohon mangga ini jika sudah besar bisa buat tempat ngadem atau tidak piknik keluarga pada hari minggu. Sekiranya begitu rencana kedepan yang dipikirkan oleh Bagas.

"Pa, papa cuman beli bibit pohon mangga aja? Gak beli yang lain?" tanya Narendra menatap sang ayah yang masih asik menggali tanah tersebut.

Sekiranya sudah dalam galian tersebut, Bagas menaruh pacul tersebut di tempat aman dan mengambil bibit pohon mangganya serta pupuk organik yang ia beli sekaligus. Narendra yang mengerti akan menanam itu pun langsung membantu sang ayah membawakan pupuknya.

"Enggak kak, papa tuh bingung sebenernya kemarin di outlet bibitnya. Mau beli yang lain cuman takut nanti gak berkembang hasilnya, jadi yaudah papa beli pohon mangga aja yang sekiranya mudah di tanem" ujarnya seraya membawa bibit pohon tersebut. Narendra disebelahnya mengangguk saja, toh yang membeli sang ayah ini. Ia hanya membantu menanam saja.

"Itu kamu ambil selangnya bawa kesini. Abis ini tinggal nyiram aja tanemannya"

Narendra langsung sigap mengambil selang untuk menyirami bibit pohon mangga itu tapi tak dinyalakan air nya karena sang ayah belum selesai dengan tanah dan pupuknya. Selagi menunggu, Narendra melihat sekitar halaman belakang rumahnya ini. Begitu asri dan hijau, bagaimana tidak jika kedua orang tuanya saja menanami beberapa pohon dan jenis bunga di area ini. Fyi, keduanya memang suka dengan tanaman hias atau pun tanaman berbuah sekaligus. Maka dari itu, selaku anak, Narendra akan suka rela untuk membantu menanam bibit tanaman tersebut.

"Dah kamu nyalain air nya. Abis itu kita ke dalem minum es campur keknya enak ya kak" ujarnya dan di angguki ribut oleh sang anak.

"Iya pa. Es campur mang odoy keknya enak deh yang di depan komplek itu. Mumpung gak ada mama hehe" ujarnya dengan cengiran lucu.

Bagas hanya menggeleng seraya mengusak rambut halus coklat sang anak. Nirina memang tidak memperbolehkan anak-anaknya jajan sembarangan, sebisa mungkin ia akan membuatkan jajanan sendiri untuk anak-anaknya itu. Tapi bukan Narendra jika tidak melanggar sejak kecil, ia diam-diam akan makan beberapa jajanan pinggir jalan jika sudah kepengen. Tapi tenang saja sang mama tidak akan tau karena ia tak membawanya ke rumah.

"Padahal bikin sendiri lebih enak kak. Nanti ketahuan mama loh kamu beli es campur di luar"

Narendra yang sedang menyiram hanya tersenyum nakal dan dihadiahi gelengan saja oleh Bagas. Bagas memang tidak mempermasalahkan anaknya untuk jajan diluar karena dulu dia juga suka jajan sembarangan waktu kecil mungkin sampai sekarang. Kadang jika sedang ingin jajanan pinggiran, ia akan berhenti sejenak untuk membeli jajanan seperti cilok, cimol, atau lumpia. Ya, sekiranya bisa dimakan dijalan menuju pulang.

"Hehehe kan ada papa. Nanti aku bilang mama kalo papa yang peloporin jajan es diluar"

Bagas hanya melotot kesal, bisa-bisanya ia dikorbankan untuk omelan sang istri. Anak durjana memang Narendra ini. Sementara, Narendra hanya cekikikan sendiri melihat kekesalan sang ayah itu. Baginya, jika sang ayah terkena omelan dari sang ibu ada hiburan tersendiri untuknya. Terkesan kurang ajar, tetapi itu benar-benar seru melihatnya.

ELEGI ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang