01 : Cueknya Reno

38 5 4
                                    

"Den, tumben belum dijemput?"

Pemilik nama Ayden itu hanya bisa tersenyum kecut, "Mungkin Kak Reno lagi ramai pasien, Pak."

"Oalah, yang wajahnya kembar sama kamu itu kan?"

"Iya Pak, tapi kita bukan kembar. Saya sama Kak Reno selisih 9 tahun."

Pria paruh baya itu membulatkan mulutnya. Hampir 2 dekade ia bekerja sebagai satpam sekolah, tak membuatnya heran jika muka adik dan kakaknya bak pinang dibelah dua. Tapi untuk Ayden, terlihat seperti kembar identik.

Yang ditunggu pun tiba. Reno dengan motor Revo hitamnya berhenti di depan pos satpam. Pemuda 25 tahun itu membuka  kaca helm balapnya, lalu ia menyapa pria paruh baya yang berbincang dengan adiknya.

"Terimakasih sudah menemani adik saya, Pak," ucap Reno dengan senyuman indahnya.

Pak Anto, si satpam parubaya mengangguk ramah, "Sama-sama, Mas." Kalo dilihat-lihat, kakaknya Ayden ini memang seperti anak yang cerdas.

Ia pernah mendapat cerita dari para guru yang hobi menggosip di parkiran, kalo Reno sudah mengambil spesialis di usia yang tergolong muda. Pak Anto yakin, pasti Ayden bangga memiliki kakak seperti dia.

"Yuk dek, kita pulang. Maaf ya tadi Kak Reno ada urusan dulu," ajak Reno seraya memakaikan helm di kepala mungil adiknya. Chemistry kakak-adik mereka membuat orang terenyuh sekali.

Ayden menggeleng pelan, "Nggak papa, kak. Cuma nunggu sebentar, kok."

Pak Anto mengernyit, padahal anak itu menunggu mulai dari jam 3 sore hingga matahari mulai tenggelam.

***

Saat berhenti di lampu merah, Ayden ingat jika ia mendapat tugas menggambar. Setahunya, Kak Reno itu memiliki bakat di bidang seni yang satu itu. Tak ada salahnya kan ia meminta untuk diajari?

"Kak, tadi aku dapet tugas gambar—

"Saya sibuk. Sama Beno aja." Belum selesai si adik mengutarakan maksudnya, Reno menyela dengan ketus. Menandakan ia tak mau berurusan dengan sosok yang menjadi penyebab dirinya menjadi seperti saat ini.

Ayden tersenyum kecut, selalu begini. Padahal dia hanya ingin dekat dengan kakaknya yang dingin bak kutub utara itu.

"T-tapi kak, Bang Beno nggak bisa gambar," cicit Ayden dengan wajah memelas.

"Raden Ayub Chandraweni, saya harus kembali ke rumah sakit setelah mengantar kamu. Beno menitipkan kamu karena dia ada pekerjaan hingga sore nanti. Jadi, kerjakan sendiri atau bersama Beno, paham?" tegas pria yang berstatus sebagai anak sulung sekaligus kepala keluarga bagi Beno dan Ayden itu.

"Iya, kak. Maaf," jawab Ayden pada akhirnya.

Kalau sudah begini, ia tak bisa lagi bernegosiasi dengan kakak sulungnya. Jika dilanjutkan, bisa-bisa Reno tak akan menganggap dirinya sebagai adik dan bagian dari keluarga Chandraweni lagi.

Sesampainya di rumah, Ayden melakukan aktifitasnya seperti biasa. Kakaknya langsung putar balik ke rumah sakit sesuai katanya di jalan tadi.

Untuk mengurangi rasa bosan karena kesepian, biasanya dia mengajak teman-temannya kesini.

Seperti saat ini, di ruang tengah terlihat 3 pemuda berseragam putih Abu-Abu tengah berkutat dengan stick PS 4 kepunyaan Reno terdahulu. Tapi masih bisa dipakai, sih.

"Woy, Jep. Elu kemana!?"

"Lah elu ninggal gue, Bambang!"

"Nama gue Vero, bukan Bambang!"

"BERISIK ELU PADA! GUE BUNUH SATU-SATU NTAR!"

"YA MAAP, WAN."

Disaat ketiga pemuda itu saling melontarkan cacian, makian dan hujatan karena skill main mereka yang kurang pro, sang pemilik rumah malah sibuk dengan tugas menggambar dari guru seni nya.

Dengan santainya seakan tak mendengar suara bising di depan TV, Ayden duduk di sudut ruangan, membiarkan jemarinya menari-nari diatas buku gambar berukuran A3.

Guru seninya memberi tugas menggambar bebas. Asalkan diwarna full satu buku. Ayden pun memilih menggambar pantai karena levelnya masih easy.

"Dahlah, emang kapten kita emang nggak becus," keluh pemuda bermata rubah.

Akhirnya ketiga lelaki tersebut mengakhiri kegiatan mereka. Mereka menyandarkan punggung di sofa empuk, seketika rasa penat langsung hilang dan mengundang kantuk. Sepertinya tidur disini tidak ada bedanya dengan di kasur, sama-sama bikin nyaman.

Jeffrian—si mata rubah—atau yang kerap dipanggil Jepri mengedarkan pandangannya. Ia berdecak kagum melihat bangunan besar nan mewah ini.

"Rumah elu gede juga, Den. Tapi sepi banget," komentarnya sedikit blak-blakan.

Pemuda di sampingnya yang tengah memejamkan matanya mewakili Ayden menjawab, "Biasa, orang kaya. Pada sibuk."

Jeff menanggapinya dengan ber-oh-ria.

"Loh Den, perasaan tugas Bu Ina dikumpulin minggu depan, deh. Kok elu udah ngerjain aja sih?" tanya Vero keheranan. Pasalnya dia adalah tipe yang SKS dalam apapun, anti wacana club sampai namanya selalu masuk jajaran most wanted para guru karena ngaret mengumpulkan tugas.

"Gue orangnya pelupa. Mumpung inget dan ada waktu, kerjain aja," jawab Ayden tanpa mengalihkan pandangannya.

Wildan hanya tersenyum miring, ia mengetahui sifat teman kecil sekaligus tetangganya yang kelewat rajin bernama Ayden itu.

"Wow, panutan banget sih. Nggak kayak Jepri yang detik-detik terakhir dikumpulin baru ngerjain," ucap Vero dengan tatapan mengejek Jeff.

Yang disindir mendecih, "Yaelah kayak elu bener aja. Situ juga sering minta contekan. Sadar diri, bos."

Ayden tertawa kecil melihat perdebatan Jeff dan Vero, sementara Wildan hanya tepuk jidat seraya menggelengkan kepala.

Lucu sekali teman sekelasnya Ayden, walaupun sering berdebat perkara hal sepele, Jeff dan Vero saling membutuhkan satu sama lain.

Vero si anak Bunda yang manjanya minta ampun, karena dia anak bungsu. Sementara Jeff si anak tunggal yang tangguh karena sering di tinggal Mami Papi keluar kota buat kerja.

"ASSALAMU'ALAIKUM, BANG BEN KAMBEK! SIAPA YANG KANGEN?"

Ayden yang mendengar pekikan dari pintu depan langsung berlari dan menghambur ke pelukan kakak keduanya itu.

"Aigoo, adeknya abang gemesin banget. Kebetulan banget nih rame, yuk nge-mie bareng. Barusan abang borong dagangan temen," ajak Beno, kedua tangannya penuh dengan kresek putih.

"Asyikkkk, makan gratessss~"

TBC

Hai, readers! Aku kembali dengan cerita baru. Hope you like it, yeah 😹

CALL ME HYUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang