Tandai jika terdapat kata typo.
Zia mengusap keringat yang ada didahinya, ia sangat lelah. Sedari tadi ia menawarkan bunga kepada orang-orang yang melintas dihadapannya namun tak ada seorang pun yang membelinya.
Ingin menangis rasanya, kenapa takdirnya seperti ini? Ini sangat menyiksa. Diharuskan bekerja setelah pulang sekolah demi memenuhi kebutuhannya sendiri yang padahal ia masih mempunyai orang tua.Zia tidak sekuat itu untuk tidak mengeluh, sesekali ia juga mengeluh kepada Tuhan yang memberikan takdir seperti ini padanya. Namun kembali lagi, ia hanya bisa mengeluh tak bisa menyalahkan Tuhan atas takdir yang diberikannya.
Masih dengan seragam sekolahnya, Zia berjalan ke depan di mana para pengendara sedang menunggu lampu hijau. Kemudian ia mengetuk kaca mobil seseorang. "Malam Kak, silahkan beli bu––" Zia menghentikan ucapannya kemudian kedua matanya membulat sempurna, ia terkejut ketika tahu siapa pemilik mobil ini.
"Kak Gen." Panggilnya yang masih dengan tatapan terkejutnya. Zia tidak tahu jika ini mobil Genta, pasalnya Genta selalu memakai motor jika ke sekolah, ia tak pernah melihat Genta diluar sekolah, dan juga ini pertama kali ia melihat Genta diluar sekolah.
"Lo? ngapain disini? jual bunga?"
"Nggak, ini lagi jual buaya," jawab Zia melantur. Sedangkan Genta menatap Zia dengan tatapan bingung. Zia yang melihat tatapan Genta sontak berdecak kesal, "jelas-jelas ini bunga! Masih nanya lagi. Mau beli nggak?" Lanjutnya.
"Nggak, makasih." Setelah itu Genta langsung menutup kembali kaca mobilnya. Zia hanya bisa menghela nafas pasrah dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia tidak akan memaksa seseorang untuk membeli bunganya. Jika orang itu tidak ingin, ya sudah.
••••••
Zia baru saja tiba di depan rumahnya setelah selesai bekerja. Saat Zia masuk ia sudah disuguhkan pemandangan kedua orang tuanya dan kakaknya yang sedang berada diruang tengah. "Dari mana saja kamu?" Niat hati ingin melewati mereka namun suara bariton itu berhasil membuat langkahnya terhenti. Pemilik suara itu yang tak lain ialah Liam Papa Zia yang saat ini sedang berjalan mendekatinya.
"Kebiasaan ya kamu main terus. Aku kan udah bilang tadi di sekolah kalo pulang sekolah itu pulang ke rumah jangan main."
Zia menatap gadis berambut pendek itu dengan tatapan tak percaya, kedua tangannya mengepal menahan amarah. Kakak tirinya Cindy kapan berbicara seperti itu? Padahal di sekolah bagaikan orang asing yang tak pernah saling mengenal satu sama lain.
"Diam Cindy." Kata Ajeng Mama tirinya.
"Mama, apaan sih. Aku cuma bilangin Zia tadi, soalnya Zia main terus tiap hari, pulang malem terus. Makannya aku bilangin pulang sekolah tuh langsung pulang jangan main."
"Pa––" Zia memegang pipi kanannya yang baru saja ditampar oleh Liam, perkataanya pun tak sempat ia lanjutkan karena Liam lebih dulu menamparnya. Memejamkan matanya sejenak guna menahan amarah yang ada di dalam dirinya. Ini bukan suatu hal yang langka, Liam sering melakukan ini terhadap putri kandungnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
GENZIA [END]
Teen Fiction❝Bahagia, satu kata sederhana namun sangat sulit Kenzia rasakan.❞ ***** Katanya, kodrat seorang perempuan itu di kejar bukan mengejar. Lalu bagaimana jika Kenzia mencintai seorang laki-laki, apakah harus Kenzia menunggu laki-laki itu agar mengejarny...