1. pertemuan singkat

38 7 0
                                    

Laki-laki berperawakan tinggi itu menyeret tasnya diatas beton rooftop, memar serta darah yang keluar dari goresan di wajahnya kian mengering, matanya menatap langit yang bersih dari gumpalan awan, angin malam berhembus menyibak rambut yang menghalau pandangan matanya, nafasnya mulai teratur setelah menjatuhkan dirinya diatas beton rooftop.

Mata sembabnya yang tak mampu mengalirkan rasa kesal yang menumpuk di hati itu menatap bulan yang berdenyar terang dilangit, jumantara malam ini tampak sepi tidak ada gumpalan mega, bintang pun juga tak seramai hari-hari biasanya dan memilih menyelimuti cahayanya dengan pekat hitam bumantara.

Dengusan gusar keluar kala perasaan berat kembali mendesak hatinya, hilang arah serta atma yang terasa kosong mewarnai hari-hari suramnya.

"Gue nggak lagi punya tujuan, tumpuan, tempat pulang. Semuanya hancur, sialnya gue masih belum cukup berani buat bunuh diri." Kalimat itu meluncur dari bibir yang sedikit robek di hiasi dengan jejak darah.

"Apa luka yang lo cari bisa ngobatin luka lainnya?" sahut suara dari ujung kanan rooftop.

"Maksud lo?" tanya laki-laki itu dengan berusaha duduk dari tidurnya, menoleh mencari pemilik suara.

Aneh, padahal ia sudah memastikan jika rooftop gedung ini kosong bahkan ia berani bersumpah, jika ia tahu disini masih ada orang, tidak mungkin ia mengeluhkan keinginannya bunuh diri.

Perempuan di ujung kanan rooftop itu menoleh menatap laki-laki yang tadi mengutuk hidupnya, "Membasuh luka dengan darah, meremukkan tulang yang tak lagi kokoh," ucap perempuan itu, ia menoleh kembali menatap bumantara.

"Lo siapa?" tanya laki-laki itu menaikkan alisnya, merasa ganjil karena selama 2 tahun bersekolah di sini belum pernah melihat wajah perempuan yang berdiri di rooftop.

"Niskala," ucap perempuan itu setelah menelan ragu. "Nama lo?" tanya Niskala balik.

"Dewangga," jawabnya singkat.

"Merah oranye? Langit sore?" tebak Niskala mengartikan nama Dewangga yang disahuti anggukan oleh pemilik nama.

"Niskala artinya apa?" tanya Dewangga.

"Abstrak, nggak berwujud." Jawaban itu disambut dengan Dewangga yang mengangkat alisnya terheran.

"Bener arti nama lo, nggak berwujud? Terus gue lagi ngomong sama siapa, dong?" kekeh Dewangga.

Niskala hanya merespon dengan senyuman, kakinya melangkah menuju pintu rootop, "Cepet pulang, bentar lagi ada satpam ngecek rooftop," saran Niskala.

"Lo duluan, gue bakal balik bentar lagi." Niskala berlalu melewati pintu meninggalkan rooftop.

"Tunggu! Gue belum dapet penjelasan dari omongan lo tadi!" cegah Dewangga menatap pintu rooftop yang sudah tertutup. Kakinya beranjak membawa tubuhnya bangun, matanya menyapu sekitar lorong kelas di dekat pintu rooftop, tapi tak terlihat sedikitpun jejak kemana perempuan tadi melangkah. Pertemuan singkat itu membuatnya mendengus kesal, ia mulai meratapi diri karena tidak menanyakan beberapa hal seperti, lo kelas apa? Nama lengkap lo siapa? Kelas lo di sebelah mana?
Ia mendecak sebal, dengan berat hati membiarkan kepalanya terus berkecamuk memikirkan apa maksud dari ucapan Niskala.

Beautiful TragicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang