7. melihat

6 5 0
                                    

"Kal, kepala lo berdarah!" panik Dewangga yang tidak mendapat respon dari Niskala.

"Lo habis jatuh?! Kenapa nggak bilang? Ayo ke UKS!" Dewangga menarik paksa tangan Niskala, memaksa perempuan itu mengikuti langkahnya.

"Ga, gue nggak bisa ke UKS," ucap Niskala menghentikan langkah mereka berdua.

"Kenapa? Atau lo mau ke rumah sakit aja?" tanya Dewangga masih dengan kepanikan yang tampak pada wajahnya.

"Nggak perlu, gue udah dijemput. Nanti gue dimarahin kalau nggak ikut jemputan, hehe."

Dengan berat hati Dewangga melepaskan tautan tangannya dengan Niskala. Perempuan itu mendekat kembali menautkan tangan mereka berdua yang belum sepenuhnya terlepas dan memejamkan mata, ia mengecup bibir Dewangga dengan singkat lalu melepaskan tautan tangan mereka berdua.

"Makasih jaketnya," ucap Niskala dengan tersenyum dan mengembalikan jaket Dewangga.

"Gue pergi dulu, dadah!" Niskala melambaikan tangannya kemudian menutup pintu rooftop.

Kaki Dewangga beranjak hendak menyusul Niskala sebelum perempuan itu pergi meninggalkan gedung sekolah, tapi ia sama sekali tidak melihat Niskala selama menyusuri lorong kelas hingga halaman sekolah, langit semakin membiru gelap dengan suasana sekolah yang sepi hanya tinggal beberapa cleaning service sekolah yang menyalakan lampu-lampu pada sepanjang lorong sekolah.

"Lo nyari siapa?" tanya siswi perempuan yang berjalan dibelakang Dewangga.

"Lo liat cewek rambut sebahu, badan kurus yang nggak lama ini lewat nggak?" tanya Dewangga.

"Sepatunya warna abu-abu?" tanya siswi itu memastikan, tampak wajah gadis itu melihat Dewangga heran.

"Iya!" jawab Dewangga tegas.

"Lo bisa lihat hantu?" tanya siswi itu heran, pasalnya ia yakin cowok didepannya ini tidak bisa melihat hal-hal magis.

"Maksud lo? Gue tanya apa lo liat cewek ram-"

"Cewek yang lo maksud tadi hantu! Bukan manusia!" ucap siswi itu memotong kalimat Dewangga.

"Lo nggak lagi bercanda, kan?" selidik Dewangga, ia menelan salivanya saat merasakan hawa dingin berhembus melewati tengkuk lehernya.

Siswi itu tampak menatap sesuatu dibelakang Dewangga, tangannya meraih pergelangan tangan Dewangga, "Kita bicara di tempat lain." Dewangga merasakan tangan siswi itu bergetar saat menyentuh pergelangan tangannya.

"Nggak bisa, gue harus nyari-"

"Iya bakal gue kasih tahu!" lagi-lagi siswi itu memotong perkataan Dewangga kali ini dengan nada sedikit membentak.

Dewangga akhirnya menurut mengikuti langkah perempuan didepannya, mereka berdua berakhir meminum kopi di cafe terdekat dari sekolah, wajah perempuan itu masih tampak pucat, ia menyesap kopinya dengan cepat tampak seperti sedang mengisi tenaga dan mencari ketenangan.

"Gue maradela, maaf udah bikin lo bingung," perempuan itu membuka suara, memecah hening disekitar mereka, ia menyodorkan tangan berniat mengenalkan diri.

"Gue Dewangga, sekarang lo bisa jelasin maksud lo tadi?" Dewangga menyambut tangan Maradela lalu bertanya tanpa basa-basi.

Perempuan itu menghela nafas, "Cewek yang lo lihat tadi hantu, rambutnya sebahu, pake seragam sekolah kita, sepatu abu-abu, sering ada di rooftop." Maradela menjelaskan ciri-ciri perempuan yang Dewangga maksud.

Mulut Dewangga terkatup rapat matanya menatap lurus pada Maradela, ia masih sulit mengiyakan kata-kata yang Maradela ucapkan mengenai Niskala walau ia tahu jika semua ucapan Maradela tepat sasaran.

"Gue pernah ngobrol sama dia dulu pas gue masih murid baru kelas 10. Dulu gue selalu ke rooftop tiap jam istirahat, gue nggak punya temen dikucilkan sama anak kelas, mereka nganggep gue aneh soalnya gue bisa lihat hantu, kadang gue juga bisa tahu kalau seseorang bakal dapet nasib baik atau buruk," cerita Maradela.

"Kalau gue nggak punya kemampuan kayak lo, kenapa gue bisa lihat Niskala?" tanya Dewangga.

Maradela mengangkat alisnya, "Dia ngasih tahu namanya?"

"Iya," jawab Dewangga singkat.

"Wow, ternyata kalian udah sering ketemu dan deket, sampe dia mau ngasih tahu namanya ke lo, tapi itu bukan nama aslinya." Maradela menyesap sisa kopi di cangkirnya.

"Lo tahu banyak tentang Niskala?" selidik cowok dihadapan Maradela.

"Lumayan, gue dulu juga sering ke rooftop buat ngisolasi diri dari orang-orang, dan dia satu-satunya yang mau ngajak gue ngobrol." Maradela meletakkan cangkir kopinya yang kosong.

Beautiful TragicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang