3. mencari rumah

15 7 0
                                    

Pundaknya turun kala ia menghela nafas, menatap pintu apartemen di depannya, perlahan tangannya membuka pintu setelah memasukkan kode, dan perkiraannya benar, rumah ini selalu terasa dingin dengan sepi yang menjadi nuansa utamanya. Ayah Dewangga tak pernah pulang ke rumah ini, laki-laki  berumur 40 an itu pulang ke rumah barunya dan tinggal bersama dengan keluarga baru setelah ibunya meninggal 2 tahun lalu.

Tas sekolahnya dilempar mendarat di atas sofa sedang pemiliknya berlalu menuju kamar mandi membersihkan diri dari bau amis darah serta keringat hari ini. Dewangga menenggelamkan dirinya dalam bathub tanpa melepas seragam, merasakan perih yang menyayat tubuhnya, warna air bathub berubah sedikit kemerahan akibat luka yang belum mengering dan mengeluarkan darah. Kepalanya penuh dengan kenangan manis ayah dan ibunya yang semakin membuat tubuhnya terasa sakit merasakan renjana atas kehangatan keluarga tempat ia pulang.

Ribuan kali ia rapalkan kata “Baik-baik saja” dan “Tidak apa-apa” dalam hatinya, tapi ia tetap saja jatuh tersungkur dalam kubangan luka, rasa rindu yang mencekik serta oksigen yang terasa seperti racun. Dewangga menggelepar di lantai menyelamatkan dirinya dari keinginan menenggelamkan diri dalam bathub, tangannya memukul permukaan lantai kamar mandi.

“ARGHH!!!”

“TOLONG BALIKIN KEHIDUPAN GUE,” pekik Dewangga yang menggema di telinganya sendiri, seperti gema yang ia buat sedang menertawakan tindakannya yang sia-sia.

Isakan tangis memenuhi kamar mandi, keputus asaan mengisi penuh ruangan itu, kemarahan membakar dadanya kemarahan yang tidak tahu harus di tujukan pada siapa, ia mendudukkan dirinya, menyandarkan punggung pada dinding kamar mandi yang dingin serta kedua tangan memeluk tubuhnya sendiri yang basah kuyup. Malam ini sama seperti malam biasanya yang di penuhi dengan pikiran berkecamuk dan duka yang tak berujung.

Pagi kembali, kesadaran memaksa bangun dari tidur, mendudukkan tubuh yang merebah di ubin kamar mandi, baju kumal yang masih membungkus tubuh, kepala pusing dan tubuh lelah menjadi hal pertama yang Dewangga rasakan. Segera saja ia melanjutkan mandinya yang belum ia lakukan semalam dengan benar.

Kaki Dewangga berhenti tepat di depan rak mie instan di toserba dekat sekolahnya, entah sudah berapa hari ia hanya mengisi lambungnya dengan mie instan dan makanan cepat saji lainnya. Tangannya meraih 1 bungkus onigiri karena lidahnya menolak rasa mie instan, 1 susu kotak kemudian membayar di kasir, rooftop pun menjadi lokasi pertama yang dituju sebelum pergi ke kelas.

“Pagi!” sapa Niskala yang sudah duduk di rooftop sebelum Dewangga datang.

“Pagi,” sahut Dewangga duduk bersampingan dengan Niskala. “Lo udah sarapan?” imbuh Dewangga membuka bunkus onigiri.

“Udah, siniin tangan kiri lo,” titah Niskala.

“Buat apa?” tanyanya setelah menjejalkan onigiri dalam mulut.

“Udah siniin aja, sih.” Niskala menarik paksa tangan kiri Dewangga lalu membawa kotak P3K di sampinya ke pangkuan.

Dewangga tersenyum tipis, “Lo bawa dari UKS? Emang UKS udah buka di jam segini?” selidiknya.

“Udah, kok. Kalau belum buka juga gue tetep bisa masuk.” Niskala dengan teliti membersihkan luka goresan di tangan Dewangga dengan alkohol.

“Kok bisa?” herannya.

“Ada deh,” ujar Niskala.

Belum sempat Dewangga menodong Niskala dengan pertanyaan lain, laki-laki itu sudah dibuat meringis karena Niskala menekan lukanya sedikit keras dengan kapas.

“Aw!! Lo sengaja ya?!” keluh Dewangga.

“IYA, HAHAHA,” kelakarnya puas, “Abis lo nanya mulu kayak dora.”

Dewangga hanya bisa ikut tersenyum mendapati Niskala yang menertawakannya, ia tahu jika hatinya berdebar, ia juga tahu jika dirinya menyukai Niskala, yang ia bingung kenapa ia mudah sekali jatuh hati.

Beautiful TragicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang