2. bertemu lagi

12 7 0
                                    

Luka kemarin yang belum kering ditimpa dengan luka baru, jejak darah yang masih belum sepenuhnya hilang dari kain seragam kini di tebali dengan darah baru, dan hal yang masih sama adalah ketika Dewangga kembali mengistirahatkan tubuhnya di rooftop yang sama, dengan tatapan sembab yang masih belum juga mampu meluapkan rasa sedihnya.

“Lagi?” tanya Niskala yang baru saja muncul dibalik pintu rooftop.

“Iya,” jawab Dewangga dengan desahan lega mengetahui ia kembali bertemu dengan Niskala.

“Kali ini lo buat perkara apa?” Niskala menatap kesal pada Dewangga yang tak tampak seperti manusia karena memar dan luka yang menghiasi tubuh pemuda itu.

“Hari ini gue nyari lo, diseluruh kelas tapi nggak ketemu.” Dewangga menatap heran pada Niskala yang sudah berdiri di sampingnya.

“Astaga, kalau mau nemuin gue, lo cari ke perpustakaan, lo pasti pake cara nggak sopan sampe kena gebuk kayak gini,” tebak Niskala yang tepat sasaran, Dewangga mencarinya dengan berteriak kala memasuki kelas-kelas, bahkan sampai mengganggu anak kelas unggulan yang setiap jam istirahat suasana kelasnya tetap mencekam.

“Oh, gue nggak kepikiran sampek ke perpus gedungnya jauh, sih.” Dewangga menepuk tempat disampingnya yang kosong, mengisyaratkan agar Niskala ikut duduk disampingnya.

“Lo kelas apa?” tanya Dewangga.

“Nggak usah tahu, nanti lo ke kelas gue.” Niskala meluruskan kakinya setelah berhasil duduk disamping Dewangga.

“Emang kenapa kalau gue ke kelas lo?” Dewangga mengangkat alis kirinya menunggu jawaban.

“Nanti bikin heboh.” Niskala mendengus membayangkan kegaduhan kelas jika manusia bernama Dewangga datang ke kelasnya.

“Iya juga, gue kan terkenal di sekolah,” ujarnya mengangguk-anggukkan kepala, tangannya melepas jaket hitam yang ia kenakan lalu menjadikannya selimut menutupi kaki Nsikala.

“Iya, terkenal jadi tukang buat onar,” ketus Niskala.

“Hehe asik, sih,” kekeh Dewangga.

Dewangga merebahkan punggungnya, menatap langit yang masih sama dengan kemarin, bulan yang tampil dengan terang ditemani beberapa bintang. Niskala ikut merebahkan dirinya, menatap langit. Tempat ini menjadi tempat kesukaan Dewangga belakangan ini, karena di sini, ia bisa melihat jelas langit malam tanpa terhalang gedung tinggi menjulang seperti yang ditampilkan pemandangan jendela apartemen ayahnya.

“Gue mau tanya maksud ucapan lo kemarin,” ujar Dewangga.

“Membasuh luka dengan darah, meremukkan tulang yang tak lagi kokoh?” tanya Niskala memastikan.

“Iya, yang itu,” Dewangga mengiyakan.

“Lo nggak ada kemauan buat ngobatin luka dengan obat, lo cuma mau ngubur luka dengan rasa sakit fisik.” Niskala menjelaskan maksud ucapannya kemarin malam.

Dewangga tersenyum kecut, “Tepat sasaran.”

“Kenapa?” tanya Niskala.

“Gue mau nambah alasan lain buat gue semakin yakin ninggalin kehidupan di sini.”

“Kalau lo nggak mampu, kenapa nggak nyari alasan buat survive aja daripada mati?” Tanya Niskala lagi.

“Gue rasa, gue udah nggak punya alasan yang layak buat survive,” senyum pahit itu tercetak jelas diwajahnya.

Okay, itu hidup lo, lo berhak milih jalan mana yang mau lo tempuh, kalau alasan lo pergi dari sini udah cukup kuat, gue harap lo nggak bakal menyesal.” Niskala menoleh pada Dewangga.

“Mungkin udah nggak bakal ada kata menyesal nantinya,” ucap Dewangga mengira-ngira.

“Ada.” Niskala beranjak dari posisi tidurnya.

“Lo tahu orang mati bakal menyesal atas pilihannya?” tanya Dewangga.

“Iya, mereka menyesal, mereka baru sadar kalau takdir yang mereka hadapi nggak sekeras itu sampai harus bikin mereka ninggalin kehidupannya, tapi mereka aja yang kurang kuat buat hadapin takdirnya. Gue nggak menyalahkan mereka yang lemah, cuma takdir lagi nguji mereka dengan nasib buruk, dan sejauh ini udah banyak yang gue jumpai dan bilang menyesal,” jawab Niskala.

“Lo tahu dari mana?” tanyanya yang hanya direspon dengan senyuman dari Niskala.

“Gue balik dulu,” ucap Niskala, ia mengembalikan jaket Dewangga lalu berjalan meninggalkan laki-laki yang masih terduduk di rooftop.

Beautiful TragicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang