6. pilihan

7 6 0
                                    

Aku katakan padamu

Semua akan baik-baik saja

Kenakan selimut di bawah kakimu

Tenangkan deru nafas dan pejamkan mata

Hidup begitu berat

Jangan mengghirup udara yang pekat

Ku raih dua tanganmu

Ku tenggelamkan dalam genggamanku

Aku akan mencintaimu, lebih banyak dari tawa dunia atas dirimu

Asap rokok berhembus keluar seiring dengan dada yang mengempis menghempas karbon dioksida keluar dari paru-paru, lagi-lagi ia mendapati punggung perempuan yang belakangan ini kerap ia lihat di salah satu rooftop gedung sekolah. Garis bibirnya terangkat tipis, tangan Dewangga disampirkan pada pundak Niskala yang berdiri di tepi rooftop menatap horizon berwarna merah oranye.

"Lo sakit? Badan lo dingin banget," ungkap Dewangga merasakan hawa dingin pada tangannya yang menyentuh pundak Niskala.

"Nggak, kok," sangkalnya.

Dewangga melepas jaket lalu membungkus tubuh Niskala dengannya, ia sempat terheran, berapa lama perempuan ini berdiri di sini hingga tubuhnya begitu dingin jika dinalar pun, tidak mungkin tubuh seseorang terasa begitu dingin, bahkan ia setuju jika dibilang yang ia pegang barusan adalah balok es.

"Ga," panggil Niskala singkat.

"Hm," sahut Dewangga sekadarnya.

"Gue harap lo nggak pernah menyesali pilihan akhir yang lo pilih," ucap Niskala tanpa konteks yang membuat salah satu alis Dewangga terangkat.

"Dua pilihan (terus hidup atau mati) ada di tangan lo, sepenuhnya. Gue udah berusaha beberapa hari ini semampunya, waktu gue nggak banyak yang tersisa, setelah hari ini gue nggak tahu apa kita bisa ketemu lagi dalam waktu cepat atau lebih lama dari perkiraan gue. Gue Cuma berharap lo bakal bahagia sama pilihan lo nanti," ucap Niskala sebelum Dewangga sempat menyahuti kalimat sebelumnya.

Dewangga tersenyum tipis. "Gue mulai yakin sama pilihan gue (buat mati), Cuma ada satu hal sekarang yang bikin niat gue tumpul, lo alasannya,"ujar Dewangga enggan menjelaskan konteks kalimatnya.

Mereka berdua menatap satu sama lain, seolah sudah tahu topik yang mereka bicarakan satu sama lain membahas hal yang sama yaitu suicidal thought dalam kepala Dewangga, hanya satu hal yang belum Dewangga pahami dengan pasti, perihal apakah mereka dapat bertemu lagi secepatnya atau tidak.

Niskala tersenyum perih, bagaimana jadinya jika nanti Dewangga tahu bahwa yang ia ajak bercengkrama selama ini hanyalah atma tanpa jasad? Apakah laki-laki disampingnya akan memilih untuk singgah di dunia atau pergi menyusulnya? Toh ibu Dewangga juga sudah tidak memiliki eksistensi di dunia, setahu Niskala atma ibu Dewangga sudah lebih dahulu menuju langit tidak seperti dirinya yang masih ingin melihat penghancur hidupnya mati.

"Tolong jangan jadiin gue alasan, jadiin hidup lo sendiri sebagai alasan, cari kebahagiaan lo, cari hal-hal yang pantas lo perjuangin." Niskala hampir putus asa untuk membuat Dewangga tetap memilih kehidupan, mengingat ada sosok laki-laki yang biasa disebut dengan 'malaikat maut' sedang menunggu jiwa Niskala untuk dibawa.

"Udah nggak ada lagi hal yang bisa gue jadiin alasan buat tetap tinggal selain lo, gue tau kalau terlalu cepat naruh rasa sama harapan ke diri lo, tapi apakah niat gue buat disini sama lo itu jadi beban berat banget di pundak lo?" tanya Dewangga, tangannya meraih tangan Niskala, menuntut perempuan itu menghadapnya, ia menatap mata Niskala penuh harap.

Niskala menggeleng, "Lo bisa kok jadiin gue sebagai alasan, tapi kayaknya bakal sulit bagi gue buat selalu ada nemenin lo, gue hampir kehabisan waktu." Lagi-lagi Niskala enggan memberi konteks atas kalimatnya.

"Gue bukan cowok yang nuntut lo buat selalu ada, kok. Lo mau belajar keluar negeri, ya?" tebak Dewangga.

Niskala tersenyum tipis dengan tatapan mengawang angin. "Bukan, tapi bakal memakan waktu hampir sebanyak kayak belajar keluar negeri dan itupun kalau gue beruntung gue bisa ketemu sama lo lagi, gue harap selama lo nunggu, tolong habisin waktu lo buat nyari kebahagiaan lo." Niskala bahkan berharap jika kepergiannya hanya sebatas pergi belajar ke luar negeri, ia bahkan sempat berharap jika jasadnya masih utuh dan bisa digunakan untuk hidup.

"Kalau sekedar itu gue bisa nunggu, kalau pun ternyata lo butuh waktu lebih lama lagi, gue yang bakal datang nemuin lo, dimana pun itu," ucap Dewangga tanpa ragu, tagannya mengacak rambut Niskala pelan. Tapi matanya mulai terbelalak kala melihat tangannya mendapat goresan darah dari kepala Niskala.

"Kal, kepala lo berdarah!" panik Dewangga yang tidak mendapat respon dari Niskala.

Beautiful TragicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang