Maria memandangi rumah minimalis peninggalan sang nenek dengan sendu. Sebelum menikah dengan Fiko, disinilah dia tinggal bersama sang nenek. Kini rumah ini kosong karena sang nenek sudah pulang ke Rahmatullah tiga tahun lalu sebelum dirinya menikah dengan Fiko.
Bunyi derit pintu terdengar kasar karena banyak debu menghalangi. Rumah ini sudah lama tak dibersihkan karena memang Maria tak pernah menginjakan kakinya lagi kerumah ini setelah menikah.
Dipandangnya setiap sudut sisi rumah dengan perasaan sesak. Dulu, sebelum neneknya meninggal, sang nenek pernah memintanya untuk sesekali membersihkan rumah ini walau tidak dia tempati. Karena kesibukannya mengurus rumah dan mertuanya yang sakit, ditambah jaraknya yang lumayan cukup jauh, Maria tidak sempat melaksanakan tugas itu. Sungguh dia sangat merasa bersalah terhadap neneknya.
Maria mulai memberseskan dan membersihkan rumah itu sampai menghabiskan waktu seharian penuh. Dia membaringkan badannya yang pegal luar biasa diatas ranjang kecil miliknya dulu. Sesekali dia menguap lalu menggosok matanya pelan, perlahan sedikit demi sedikit matanya tertutup. Dia jatuh tertidur karena kelelahan bekerja.
Rumah sepi dan tak terawat itu perlahan memperlihatkan rona kehidupan. Halaman yang awalnya berantakan penuh dengan tanaman liar kini bersih mulai ditumbuhi apotek hidup dan berbagai bibit bunga. Dinding rumah yang terlihat kumuh kini sudah terlihat segar dengan cat baru yang baru saja diperbarui.
Maria memandang puas hasil jerih payahnya dalam merenovasi ruamah yang sudah terlihat kusam itu. Didepan rumah yang awalnya hanya terdapat bangku reyot tak layak pakai itu kini terdapat dua kursi dan satu meja yang terletak antara kursi. Ruang tamunya terdapat lemari dan TV, Maria sengaja mengosongkan ruangannya untuk tempat bersantai. Di ruang makan terdapat kursi makan beserta meja plus alat-alat dapur lainnya beserta kamar mandi. Dan yang terakhir kamar, di kamarnya terdapat lemari pakaian dan kasur ukuran kecil yang hanya mampu menampung satu orang, dulu dia selalu tidur dibawah, sedangkan sang nenek diatas kasur.
Rumah bekas peninggalan sang nenek itu bersebelahan dengan rumah besar bergaya Eropa. Maria tidak pernah tau siapa pemilik rumah besar itu karena pemiliknya baru pindah ketika Maria sudah menikah.
Setelah membuat sarapan, Maria bergegas untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Namun, sekembalinya dari kamar, betapa terkejutnya dia ketika mendapati seorang laki-laki tengah menyantap makanan yang dia buat untuk sarapannya.
"Oh, kamu pembantu baru dirumah ini?" Tanya si laki-laki sambil memindai tubuh Maria dari atas kebawah. Dia agak heran dengan penampilan perempuan didepannya yang agak lain dari seragam pelayan dirumahnya.
"Pe_pembantu kamu bilang?" Maria menggertakan gigi kesal. Maria sampai harus menggigit lidahnya agar tidak keceplosan memaki laki-laki kurang ajar ini. Maria melihat penampilannya yang hari ini memakai hijab phasmina dan blus warna armi di padukan dengan rok mayung yang warnanya serupa dengan blus. Maria tidak bisa untuk tidak berpikir, apakah penampilan seperti ini yang para pembantu dirumah si tuan sombong ini kenakan. Bahkan kini laki-laki itu tengah berpose layaknya tuan banyak uang yang sombong dan angkuh?
"Yups. Ngomong-ngomong, Nuginya mana?" Laki-laki itu celingukan mencari keberadaan sang adik yang tak terlihat. Adiknya bilang akan menunggunya dirumah Bok Narsih. Namun sesampainya dirumah yang adiknya tunjukan, dia tak menemukan keberadaan sang adik. Namun gantinya dia menemukan ada sepiring nasi goreng yang terlihat lezat, tanpa pikir panajng dia menyantapnya tanpa tahu itu bukan buatan pembantunya.
Belum sempat Maria membalas, seorang lagi laki-laki berdiri diambang pintu sambil mengatur napas karena kelelahan setelah berlari. Laki-laki itu sontak membulatkan mata tatkala melihat kakanya tengah duduk dikursi makan sambil memasang wajah angkuh dihadapan sosok perempuan yang baru dia lihat. "Kak Gudy, loe ngapain disini?" Tanyanya setengah berteriak. Bahkan wajah tampannya kini sudah menunjukan tampang tak enak dipandang.
Laki-laki yang dipanggil Gudy itu mengernyit heran melihat sang adik yang terlihat seperti orang sedang menahan pup. Sontak dia tertawa melihat wajah konyolnya. "Gila, kocak banget muka loe." Gudy tertawa terbahak yang malah dipelototin sang adik dengan ganas.
Dengan memasang wajah tak enak, Nudy berjalan melewati Maria untuk menghampiri Gudy. Tatkala dia sudah berdiri disamping sang kakak, Nudy membungkukan punggungnya agar wajahnya sejajar dengan telinga Gudy. "Kak Gudy, ini bukan rumah bok Narsih. Ini tuh rumah orang lain." Nudy mendesis di dekat telinga sang kaka dengan kesal.
"Gila loe!" Gudy balas berbisik. Dia berdiri, perlahan senyum tak enak terbentuk dibibirnya. "Maaf nona. Saya kira ini rumahnya bok Narsih, pembantu dirumah saya." Gudy kembali melirik Nudy, namun kali ini pandangannya menajam menghunus seolah ada laser yang siap membakar. Gudy kembali berbisik ditelinga Nudy, " lalu rumah siapa ini?"
Nudy balas menggeleng pertanda tidak tahu. Dia sendiri baru tau kalau rumah yang bersebelahan dengan rumahnya itu ternyata ada penghuninya. Memang selama 1,5 tahun menetap dirumah barunya, Nudy tidak pernah melihat rumah ini ada yang mengisi.
Gudy melirik piring yang berisi nasi goreng tinggal setengah itu agak tidak puas, namun tentu saja ketika memandang kembali Maria, dipermukaan wajahnya menunjukan ketidak enakan yang kentara. "Dan untuk nasi gorengnya, itu sangat enak. Maaf karena saya memakannya tanpa permisi."
Maria membuang muka karena kesal. Perutnya sudah meronta-ronta minta diisi. Namun apa daya ketika sekembalinya dari membersihkan diri, nasi goreng buatannya sudah habis separuh masuk kedalam perut pemuda asing yang tiba-tiba ada dirumahnya.
Maria menghembuskan napas kasar. Dia melirik dua laki-laki yang terlihat mirip itu, satu berperawakan lebih besar dan terlihat dewasa, satunya lagi agak kecil dan mukanya masih ada jejak keimutan. Maria memperkirakan, laki-laki pertama seumuran dengannya atau lebih tua satu atau dua tahun, dan yang kedua mungkin sekitaran usia awal dua puluhan.
"Kalau begitu, kami permisi kak." Nudy tersenyum sopan. Namun, senyum itu berubah menjadi cebikan ketika memandang Gudy. Dia bertanya-tanya, apa yang kakanya ini lakukan sehingga membuat wajah sang penghuni rumah sampai memasang wajah merengut.
Maria mengangguk mempersilahkan Gudy dan Nudy keluar dari rumahnya. Namun hanya Nudy yang berjalan keluar, sedangkan Gudy masih belum beranjak kelaur membuat Maria menatapnya heran sekaligus kesal.
Gudy menggaruk belakang lehernya salah tingkah. "Anu... itu, kamu mau tidak makan dirumah saya. Soalnya makananmu sudah saya makan, dan saya yakin kamu belum makan. Mungkin kamu bisa menganggapnya sebagai permintaan maaf." Gudy saat ini tengah mati-matian menahan malu. Apalagi tadi dia sempat mengatai Perempuan yang menyorotnya tajam ini pembantu.
"Terima kasih atas ajakannya. Tapi mungkin bisa kapan-kapan." Maria menjawab sesopan mungkin, padahal hatinya berteriak kesal karena masih menanggung ganjal dihatinya lantaran tadi bersikap tidak sopan, dan lebih parahnya jatah makanannya sudah dimakan laki-laki ini. Mau menerima ajakannya pun tidak mungkin, gengsi lebih mendominasinya saat ini walau lapar diperut sudah meronta.
"Kalau begitu kapan-kapan mampirlah kerumah Ibu saya." Gudy menunjuk Rumah bergaya Eropa yang terletak disamping Rumah Maria. "Itu Rumahnya."
Maria mengangguk mengiyakan. Dia memaksakan tersenyum sopan ketika Gudy melewatinya sambil menganggukan kepala.
Setelah mengucapkan salam, Gudy pergi dari rumah Maria dengan keadaan malu. Sepanjang jalan Gudy terus merutuki dirinya. Mau dimana mukanya ditaruh ketika nanti bertemu lagi dengan gadis itu, mana tadi dia sempat menyebutnya pembantu lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Hitam Berdarah
ChickLitMaria, seorang janda yang meminta cerai dari sang suami karena sudah tidak tahan dengan tekanan dari berbagai pihak. Mulai dari mertua yang selalu menyebutnya wanita cacat karena belum bisa melahirkan seorang anak untuk sang suami, suami yang tidak...