Mata coklat Maria yang bulat terpejam, menikmati ketenangan dari suasana sore bersama angin sepoi-sepoi. Rasanya Maria bahkan bisa mendengar bisikan angin sejuk membelai manja wajahnya.
Maria menikmatinya, keindahan seperti ini memang tidak pernah ia rasakan lagi selama 3 tahun kebelakang. Ternyata berpisah dengan Fiko tidak semua membawa kesakitan, masih ada sebagian rasa bahagia seperti yang saat ini dia rasakan.
"Saya heran, kenapa kamu bisa sesantai ini ketika seseorang sudah menelponmu puluhan, tidak. bahkan mungkin ratusan kali?"
Dan tiba-tiba suara bicara seorang laki-laki yang membawa jejak kejengkelan itu terdengar dari arah sampingnya membuat mata Maria otomatis terbuka.
Maria melirik laki-laki yang menjulang tinggi sambil memasang wajah angkuh itu agak sinis. Kalau bukan karena laki-laki ini calon Bosnya, Maria mungkin sudah mengatainya pengganggu. Berhubung laki-laki ini berkemungkinan besar yang akan menjadi sumber pemasukan uangnya, Maria hanya bisa menggigit lidah agar tidak keseleo.
Maria menghembuskan napas pasrah karena dia tau ketenangan yang dia ciptakan disore hari yang cerah ini harus terhenti demi kelangsungan hidupnya. Maria berdiri sambil memasang senyum propesionalnya, lalu mempersilahkan Gudy untuk duduk di kursi sebelahnya. "Sebentar Pak Gudy saya ambilkan minum untuk Bapak."
Gudy mengangguk singkat, "silahkan."
Melihat punggung Maria yang menjauh, wajah angkuh Gudy runtuh. Dia mengusap wajahnya kasar karena terlalu gugup bercampur malu. Namun, sekuat tenaga dia tetap mempertahankan mimik wajahnya agar terlihat tenang. Entah kenapa, dia sendiri pun tidak mengetahuinya. Setiap bertemu dengan Maria, dia selalu merasa seperti ini.
Maria kembali dengan secangkir teh. Dia meletakan cangkir itu di atas meja sebelah yang agak dekatan dengan Gudy. "Silahkan di minum dulu Pak Gudy!"
Sebagai bentuk menghargai, Gudy mengambil cangkir yang ada di atas meja. Dia menghirup sebentar aroma melati yang menguar dari cangkir, setelah itu baru Gudy meminumnya sedikit. Gudy kembali meletakan cangkir itu ketempat semula. "Terima kasih atas minumannya."
"Sama-sama, Pak."
"Oh, ya. Tujuan saya kesini untuk membahas perihal lamaranmu waktu itu." Gudy kembali memulai obrolah setelah terjadi keheningan sebentar.
Maria mengernyit heran. Kenapa Gudy sampai mau repot-repot menemuinya masalah perihal soal lamaran? Kan hasilnya bisa lewat telpon. Lalu setelah mengingat ucapan Gudy waktu pertama kali datang, raut heran Maria berangsur membaik. "Jadi bagaimana keputusan akhirnya, Pak?"
Gudy mengusap lehernya karena agak bingung ingin memulainya dari mana. "Berhubung lowongan pekerjaan di Minimarket saya sudah ada yang mengisi. Namun, sangat disayangkan dengan kulaitas Nona Maria yang mempunyai pengalaman bagus. Saya berencana untuk mengangkat seorang Asisten untu diri saya pribadi, lalu saya memilih Nona Maria orangnya. Apakah Nona Maria bersedia?"
Sebelum Maria menjawab, Gudy buru-buru menambahkan. "Nona tenang saja, gaji yang nona dapat tentu akan lebih besar dari gaji yang saya sebutkan pertama."
Ketika Maria ingin menjawab, lagi-lagi Gudy memotongnya. "Jam kerjanya sesuai dengan aktivitas saya bekerja. Saya bekerja, Nona pun ikut bekerja. Saya libur, Nona ikut libur. Dan saya pastikan, sebagai Bos saya akan dapat mengayomi bawahan dengan baik dan selamat."
Kali ini Maria diam tidak ingin langsung menjawab pertanyaan Gudy. Dia menunggu kalau-kalau Gudy ingin menambahkan lagi perkatanya. Dengan baik hatinya Maria hanya memandang Gudy santai sampai membuat Gudy menoleh heran karena semua pertanyaannya tidak ada yang kunjung di jawab.
"Kenapa tidak di jawab?"
"Saya takutnya perkataan Bapak belum selesai, jadi saya menunggu dulu." Jawab Maria lugas.
Gudy tertawa kaku. Dia tidak sadar kalau dari tadi selalu menyerobot mendahului Maria untuk menjawab. "Saya sudah selesai. Silahkan di jawab Nona!" Akunya merasa bersalah.
"Karena saya baru pertama kalinya menerima pekerjaan menjadi Asisten, saya ingin Bapak membimbingnya. Mohon bantuan untuk kedepannya!" Maria mengangguk sekilas sebagai bentuk penghormatan
Senyum Gudy mengembang tipis. "Saya senang mendengarnya. Saya pasti akan dengan senang hati membimbing Nona menjadi Asisten yang baik, bermutu, dan di percaya. Saya juga pastikan Nona menikmati pekerjaan yang Nona ambil ini."
Maria agak bingung dengan semua penuturan Bosnya itu. Dia berpikir, apakah semua ucapan Bosnya barusan tidak seharusnya dia yang mengatakannya? Maria merasa itu terbalik. Harusnya dia yang mengapresiasikan bentuk keindahan dalam bekerja sama dengan dirinya. Karena bagaimana pun, yang lebih membutuhkan pekerjaan saat ini itu dirinya. Bosnya malah tadi katanya sudah mendapatkan pelamar yang dia angkat menjadi kasir di Minimarket. Jadi, apakah Maria disini adalah pegawai istimewa yang bahkan Bosnya sendiri langsung menawarkan keindahan dalam bekerja?
"Ya." Maria menjawab singkat, padat, dan jelas. Sebenarnya dia tidak bermaksud untuk menjawabnya sesingkat itu. Namun, kebingungan dalam pemikirannya seketika membuat mulutnya agak kelu.
Dengan senyum yang kelewat lebar, Gudy mengangguk puas. Tak sia-sia usahanya dalam mempromosikan Bos baik hati yang menyayangi pegawainya. "Bagus sekali. Nona bisa mulai masuk kerja hari besok."
"Baik, Pak." Maria menjawab sopan.
Gudy berdiri di ikuti Maria. Dengan semangat Gudy mengulurkan tangan kanannya mengajak Maria bersalaman. Namun, Gudy mengernyit heran karena Maria tak kunjung menerima uluran tangannya. "Kenapa?" Gudy bertanya sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
Maria tersenyum tipis sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan membungkukan sedikit badannya. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa bersalaman dengan Bapak. Bukan mahram, loh!" Maria berbicara selembut mungkin karena takut menyinggung perasaan Bosnya ini.
Gudy menarik kembali tangannya dengan perasaan malu. Selama ini dia memang selalu di nasehati oleh Bundanya tentang larangan bersentuhan dengan lawan jenisnya. Bukan tidak ingin menuruti pepatah Bundanya, Gudy terpaksa melakukan sentuhan itu karena tuntutan pekerjaan. Dan kini dia di hadapkan dengan seseorang yang secara tidak langsung mengajarinya untuk menerapkan aturan syariat Islam, dia merasa seperti tertampar. "Kalau begitu, saya permisi."
Maria yang melihat Gudy ingin melangkah pergi sontak memanggilnya kembali. "Tunggu!"
Gudy menoleh ke arah Maria dan menungguinya untuk mengatakan sesuatu.
"Kalau boleh saya tau, kapan saya mulai masuk kerja?" Maria bertanya dengan nada canggung. Dia masih merasa tidak enak karena sempat menolak uluran tangan Gudy.
Gudy hampir saja menepuk jidatnya kalau saja tidak terburu ingat harus menjaga sikapnya agar terlihat berwibawa di depan Maria. "Saya hampir lupa. Nona bisa masuk kerja mulai dari hari senin. Nona datang saja kerumahku pukul 6:30 pagi, lalu saya akan menjelaskan apa saja pekerjaan menjadi Asisten pribadi saya sekaligus penandatanganan kontraknya."
Maria mengangguk paham. "Baiklah, Pak. Terima kasih atas pekerjaan yang Bapak berikan kepada saya."
Gudy mengangguk. Setelah mengucapkan salam yang langsung di balas oleh Maria. Gudy berbalik melangkah pergi. Di perjalanan pulang, senyum Gudy terus mengembang. Dalam hatinya dia berteriak kegirangan. Nasi goreng, I'm coming.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Hitam Berdarah
Literatura FemininaMaria, seorang janda yang meminta cerai dari sang suami karena sudah tidak tahan dengan tekanan dari berbagai pihak. Mulai dari mertua yang selalu menyebutnya wanita cacat karena belum bisa melahirkan seorang anak untuk sang suami, suami yang tidak...