14. pasar.

1.3K 84 0
                                    

Hari ini Maria tidak jadi sarapan berdua bersama Gudy, karena Gudy ada pekerjaan mendadak bersama ayahnya keluar negri. Dia mendapat cuti dan memutuskan untuk berbelanja kebutuhan dapur.

Maria sengaja berangkat pagi sekali untuk pergi kepasar. Sayur segar dan bagus tentu akan lebih mudah di dapatkan pada pagi sekali. Karena itu, sehabis shalat Subuh tadi Maria sudah berangkat.

Maria pergi ke pasar dengan berjalan kaki. Angin pagi memang terasa menusuk kulit. Namun, jelas sejuknya tidak akan di dapatkan di waktu hari lainnya.

Maria menoleh kebelakang begitu merasakan pundaknya baru saja ada yang menepuk. Di belakang Arum tengah memberikannya senyum lebar, Maria balik membalas tersenyum tak kalah lebar. "Ibu mau belanja juga?" Tanya Maria saat melihat keranjang di tangan Arum. Sebenarnya pertanyaan Maria sangat tidak bermutu. Orang pergi ke pasar apa lagi tujuannya kalau bukan untuk belanja.

Arum tertawa renyah. Kebetulan yang menyenangkan bisa bertemu teman belanja di pasar yang ramai seperti ini. "Iya, nih. Sebenarnya sama Bok Narsih juga. Tapi sengaja mencar agar bahan yang di perlukan cepat terkumpul."

Maria mengangguk mengerti. "Kalau begitu, mau bareng saya saja memilih belanjaannya?" Teringat dengan tujuannya untuk membeli beberapa kebutuhan dapur, Maria memutuskan untuk mencarinya sambil menemani Arum.

"Boleh." Arum menjawab semangat.

Maria dan Arum memutuskan untuk menghampiri penjual bumbu dulu. Setelah keduanya sama-sama mendapatkan apa yang di cari, mereka mendatangi tukang sayur. Di tukang sayur Arum mengambil kangkung yang kelihatan segar. Dengan lembut Maria menyimpan kangkung itu ketempat semula dan mengambil kembali kangkung yang daunya agak layu namun terlihat hijou semua dan muda. Kelakuannya itu jelas mengundang pertanyaan dari Arum.

"Kenapa kangkungnya di tukar? Padahal kelihatan seger yang saya ambil pertama." Arum bertanya heran. Pasalnya kangkung yang Maria letakan di tangannya itu terlihat kurang baik di matanya.

"Kangkung yang tadi memang segar, tapi kangkung itu sudah banyak yang tua. Kalau di masak pun yang terpilihnya paling hanya sedikit. Sedangkan kangkung yang ini," Maria mengacungkan kangkung yang tadi dia pilih. "Walupun terlihat agak layu, namun kangkung ini masih muda-muda. Kalau ibu mau kangkung ini seger kembali, tinggal siram air dan biarkan sebentar. Di jamin kangkung ini seger kembali."

Arum mengangguk mengerti. Di dalam hati dia berseru bangga dengan wanita pilihannya yang akan dia jodohkan dengan putra pertamanya Gudy. Selain manis dan baik, pintar memilih sayur pula. "Kamu pintar banget milih sayurnya!" Arum berdecak kagum.

Maria tertawa renyah sambil mengibaskan tangan. "Itu mah hal biasa. Orang-orang lumrah juga pasti melakukan hal yang sama dengan yang saya lakukan."

"Ah, kamu bisa saja merendahnya." Arum kembali berjalan bersisian dengan Maria. Kali ini mereka mendatangi penjual ikan.

"Mang ikan ini berapa harganga?" Arum menunjuk ikan gurame di depannya. Arum berencana untu memasak kuah asam manis gurame kesukaan Hendrawan, suaminya.

"45 ribu sekilo bu." Penjual menjawab sambil terus mengipasi lalat yang ingin hinggap di tubuh ikan-ikan yang berjajar.

Maria melihat ikan gurame yang di tunjuk Arum. Ikan itu memang besar, namun warnya sudah terlihat pucat. "Yang ini saja bu." Maria menunjuk ikan gurame yang ukurannya lebih kecil dari ikan gurame pilihan Arum. "Ikan gurame ini terlihat masih segar karena warnanya belum pucat dan kemerah-merahan."

Arum membandingkan ikan yang tadi dia pilih dan yang di tunjuk Maria. Kalau di teliti dengan seksama, ternyata memang benar ikan yang di pilih Maria terlihat lebih segar. Sekali lagi Arum di buat bangga dengan calon jodoh putranya itu. Jeli sekali Maria ini.

"Teliti sekali, kamu." Arum tidak dapat menyembunyikan nada bangga dalam suaranya.

"Harus! Kalau mau makanan yang kita konsumsi itu sehat. Kita harus pemilih. Jangan di kira ikan atau daging yang tak di datangi lalat itu bersih. Seharusnya kita patut curigai, ikan atau daging itu jangan-jangan terdapat formalin atau pengawet. Kan bahaya!" Maria berbicara sambil memilih ikan yang akan di belinya. Setelah dia mengira-ngira sudah satu kilo-an, Maria menyerahkannya pada penjual untuk di timbang. "Mang, harganya bisa kurang tidak? Agak kemahalan kalau harganya segitu." Maria menawar harga pada si penjual.

"Berapa neng maunya?" Si penjual memberi keringanan.

"40 ribu di kasih, mang?"

Si penjual mengangguk. "Di kasih, lah. Sok atuh di ambil!"

Maria mengambil ikan dengan hati senang karena bisa menghemat sampai 5 ribu.

Arum juga menyerahkan ikan yang sudah dia kantongi pada penjual. "Bener, tuh. Jaman sekarang orang-orang sudah banyak yang melakukan segala cara demi mendapatkan ke untungan besar sampai menghalalkan segala cara." Arum menerima ikan yang di sodorkan penjual. " setelah ini kamu mau cari apa lagi?"

Maria melihat isi belanjaannya. Di rasa semua kebutuhannya sudah terbeli. Jadi Maria hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Kalau begitu temani saya dulu membeli daging." Arum menggandeng tangan Maria setelah mendapat anggukan dari si empunya.

Mereka mendatangi penjual daging. Arum mengambil dua ayam, satu di tangan kanannya dan satunya lagi di tangan kirinya. Dia mengacungkan ayam itu ke atas sampai sebatas dada. "Menurutmu, ayam mana yang lebih baik?" Arum kali ini bertanya ingin mengetahui pendapat Maria.

Maria melihat ayam yang ada di tangan kanan Arum. Daging ayam itu terlihat sedikit jejak kehijouan yang samar. Lalu beralih ke ayam yang ada di tangan kiri Arum. Ayam itu terlihat segar dengan tampilan bersih, malah terlihat terlalu bersih. "Dua-duanya tidak ada yang baik." Lalu Maria mengambil ayam dari penjual di sebelahnya. "Ayam ini lebih terlihat segar tidak ada jejak kehijouan dan jangan takut pakai pengawet karena ada lalat yang menghinggapi."

Arum tersenyum dan mengambil ayam yang Maria pilih. " lain kali kita harus belanja bareng lagi. Ternyata menyenangkan sekali belanja di temani kamu."

Maria tertawa malu. "Ibu dari tadi terus memujiku. Nanti aku terbang, susah loh turunnya." Maria menanggapi pujian Arum dengan candaan.

Kemudian mereka tertawa bersama tanpa mengetahui pedagang yang ayamnya jadi bahan penilaian mendengus jengkel karena orang-orang yang datang membeli dagingnya kembali mundur perlahan setelah mendengar penjelasan wanita muda dan wanita paruh baya barusan.

Maria dan Arum sudah berdiri di pintu pasar. Mereka, tepatnya Arum tengah menunggu Bok Narsih pembantu di rumahnya yang belum keluar dari dalam pasar. Maria ikut berdiri karena tidak tega harus membiarkan Arum menungguinya sendiri walau sudah di suruh pulang oleh Arum.

"Nah itu dia Bok Narsih!" Arum menunjuk wanita berusia 60 tahunan tergopoh-gopoh sedikit berlari menghampiri Arum.

"Maaf, Ibu. Mbok agak telat keluarnya, tadi ada masalah sedikit." Jelasnya dengan susah payah karena harus membagi suara dengan napasnya yang kelelahan.

Arum mengibaskan tangannya. "Udah gak apa-apa, bok. Yang penting simbok juga sudah di sini." Arum menjawab kalem.

"Maria?"

Tubuh Maria sontak menegang mendengar panggilan dari suara seseorang yang dia kenali. Perlahan dia membalikan badan, lalu mendapati Fiko bersama Sela.

***

Mawar Hitam BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang