Dua hari berlalu begitu cepat, hari ini adalah hari Rabu, hari terbaik untuk memulai hal yang baik termasuk dalam ber muthola'ah. (Kata pak kyai yang ngajar kitab ta'lim muta'alim)
Hari ini juga Naura memutuskan untuk merantau, pergi ke kota orang demi mengobati kehausan ilmunya, tanpa membawa identitasnya sebagai anak kyai yang selama ini mengurungnya dalam keistimewaan, iya ISTIMEWA semacam kartu biru yang memudahkannya dalam segala hal.
Seperti kejadian tempo hari di Dukcapil,- Saat itu Naura tengah mengantri panjang untuk potret KTP karena umurnya sudah genap 17th. Apa yang terjadi?
Tiba-tiba ada seorang pegawai yang menghampirinya dan menawarkan bantuan untuk didahulukan, alasannya hanya karena ia putri seorang kyai yang disegani oleh semua warga di kota ini.Namun bukan Naura namanya, jika menerimanya dengan tangan terbuka. Perlahan dengan nada dan raut wajah se-ramah mungkin ia menolak tawaran pegawai tadi dengan dalih "Gapapa pak, saya masih sanggup kok ngantri. Lagipula ini juga salah saya tadi datang kesiangan" orang-orang yang tak sengaja mendengar obrolan keduanya menatap takjub pada Naura, Naura hanya bisa menundukkan pandangannya dan kembali fokus pada buku yang sengaja ia bawa dari rumah, untuk mengisi waktu kosong selama menunggu antrian.
Kartu istimewa ada bukan karena pihak keluarga KYAI atau pesantren yang menginginkan, namun kartu itu lahir dengan sendirinya dan tertanam di benak masyarakat, bahwa keluarga kyai harus diistemawakan. Sebab ia adalah guru dan ahli ilmu agamanya yang patut di takdzimi.
"Dek udah siap belum? Jangan lama-lama ya, takut macet ntar di jalan." Qonita mengingatkan adeknya, karena jam sudah menunjuk angka 10. Sedangkan jadwal keretanya pukul 13.00 wib dan jarak rumah ke stasiun menghabiskan waktu kurang lebih 2,5 jam.
"Iya mbak sebentar lagi, udah hampir kelar."
Naura pun mempercepat gerak geriknya, setelah di rasa cukup akhirnya ia keluar kamar dengan menggendong satu ransel dipundaknya dan satu koper ditangannya.
Di ruang tamu sudah berkumpul Abah, Ummah, mbak Qonit, Mas Ilham, dan satu sopir yang akan mengantarkannya.
"Ummah, Naura pamit dulu nggeh. Do'akan semoga urusan Naura di Jakarta selalu dimudahkan oleh Allah." Tuturnya sambil mencium takdzim tangan ummahnya.
"Pasti nduk, jaga diri baik-baik nggeh semoga Allah selalu merahmati kamu. Ummah udah buatin satu toples Abon untuk stok laukmu beberapa hari ke depan, dan itu ada nasi bungkus untuk makan di kereta. Karena kata mas mu ke Jakarta butuh waktu 16 jam."
Ucapnya sambil menunjuk mas Ilham. Di keluargaku memang tidak ada yang hidup di perantauan, hanya mas Ilham yang mempunyai pengalaman keliling ke banyak daerah untuk pengabdian."Nduk, ini ada hadiah dari abah. Semoga bermanfaat ya."
"Apa ni bah?"
"Buka saja dulu."
Manik mata Naura berkaca-kaca saat melihat kotak hp yang ada di dalam kado pemberian abahnya.
"Abah, kenapa harus beli Hp segala. Naura tidak butuh kado yang mahal, cukup restu dan do'a Abah & Ummah saja sudah lebih dari cukup." Ucapnya sambil memeluk abahnya erat.
"Gak papa nduk, ambil saja. Kebetulan abah ada rezeki kemaren. Lagian kamu akan tinggal di kota besar, pasti banyak keperluan yang harus diselesaikan dengan Hp."
Naura hanya mengangguk lalu membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke bagasi mobil.
Sebelum benar-benar pergi abah berpesan pada anaknya.
"Nduk, ingat ya pesan abah. Kamu harus punya 3 sifat CERDAS-TEGAS-SOPAN, insyaallah kamu akan di terima dimanapun kamu berada, biidznillah."
Naura mengangguk mantap, dan beranjak masuk ke mobil karena sudah di tunggu Mas Ilham, Mbak Qonit, dan sopir abahnya.
Mobil melaju perlahan meninggalkan halaman dhalem. Naura menatap jendela lekat-lekat, merekam setiap objek yang dilaluinya. Ia masih belum percaya ditakdirkan oleh Allah untuk merantau ke ibu kota. Alhamdulillah.. hanya kata itu yang bisa diucapkannya.
📃📃📃
Dua jam berlalu, mobil sudah tiba di Stasiun Malang Baru. Suasana sangat ramai, banyak orang berlalu lalang menarik koper kesana kemari. Suara sopir taxi menggelegar dimana-mana menawarkan tumpangan pada setiap orang yang baru keluar dari pintu exit stasiun.
Barang-barang Naura sudah diturunkan oleh sopir, kini Naura sedang menuju mesin cetak tiket ditemani oleh Mas Ilham, karena Mbak Qonit sedang ke Toilet, dan pak sopir mencari tempat parkir yang pas.
"Ra, boleh saya ngomong."
"Boleh mas, ada apa?" Tanggapnya sambil sibuk menginput kode tiket ke mesinnya.
"Tempo hari sebelum akhirnya saya ditakdirkan dengan Qonita, saya sempat menaruh hati pada murid saya. Bukan karena parasnya, tapi kegigihan dan sikap bodo amat yang ia miliki telah menjadikannya begitu istimewa di hati saya."
"Bentar, jangan bilang jenengan mau mengkhianati mbak saya."
"Justru saya gak ada niatan untuk kesana Ra. Karena Qonita juga wanita yang istimewa di hati saya. Saya ikhlas menerima apa yang saat ini telah Allah takdirkan. Kamu gak penasaran siapa perempuan itu?"
"B aja sih mas."
"Wanita itu kamu, Ra."
Mata Naura terbelalak mendengar pengakuan kakak iparnya. Belum sempat Naura memberi respon mas Ilham melanjutkan ucapannya kembali."Dan ini ada kado kecil-kecilan, mohon diterima nggeh. Semangat menuntutcilmunya, dan maafkan saya jika sudah lancang." Ucapnya sambil berlalu menuju ke arah pintu masuk tempat dimana mbak Qonit dan pak sopir menunggu. Naura bergegas mengikutinya di belakang, setelah memasukkan kado tadi ke dalam tasnya.
"Dari mana aja mas, kok lama. Udah hampir lok waktu keberangkatannya."
"Oh itu tadi masih antri." Kilah mas Ilham pada mbak Qonit.
"Yaudah kalau gitu Naura masuk dulu ya mbak, mas. Nganternya sampe sini aja."
Setelah berpamitan Naura pun bergegas melakukan check in ke petugas stasiun dan menuju kereta yang akan ditumpanginya.
Saat ini pikiran Naura sangat kalut, karena harus berpisah dengan keluarga tercintanya dan terusik dengan penuturan kakak iparnya beberapa waktu yang lalu.
Naura melamun, hingga tanpa sadar orang disampingnya menyadarkannya.
"Permisi nggeh mbak, mau naruh koper di atas." Pamitnya
"Monggo."
Naura kembali sibuk dengan pikirannya, hingga tak sadar jika kereta yang ia tumpangi sudah mulai melaju meninggalkan perantaran stasiun.
"Bismillahirrohmanirrohim, Allahumma adkhilni mudkhola sidqiin, wa akhrijni mukhroja sidqiin, watub 'alayya min ladunka sulthonan nashiira." Naura melantunkan do'a yang abahnya ajarkan dalam hati.
See you, Malang!
📃📃📃
Yeay, alhamdulillah akhirnya Naura bisa bercerita lagi. Setelah dua bulan lamanya ber hibernasi✌🏻
Ada yang penasaran gak isi kado Mas Ilham?
Jangan lupa ikuti terus ya perjalanan Naura. Dan jangan lupa tinggalkan jejak kalau kamu suka cerita ini.Makasih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Apa
General Fiction"Jika hanya sebab jalanmu lebih lambat dari mereka, telah membuatmu jatuh dan enggan berjuang kembali, maka sungguh engkau telah lupa bersyukur, bersyukur atas apa yang engkau pijaki hari ini karena inilah takdirmu bukan takdir mereka." - Naura Aluf...