Hari ini Naura memilih sholat dzuhur sendirian di kamarnya, karena ia harus segera merapikan barang-barang yang ia bawa pulang dari pesantren.
Tak lupa ia memutar playlist kesukaannya dari music player yang tersimpan di hp.Saat asyik merapikan baju, tiba-tiba ada yang ketok pintu.
"Assalamu'alaikum ra, kamu di dalam"
Tanya suara di balik pintu"Wa'alaikumussalam, iya mbak masuk aja gak di kunci kok pintunya." Naura tau itu suara mbak Qonita, makanya ia membiarkannya masuk.
Mbak Qonit membuka pintu, dan duduk di samping tempat tidur Naura, sedangkan Naura masih sibuk melipat baju di depan lemarinya.
"Ra, ntar sore ikut mbak ya ke Indomart. Tadi abah nyuruh pesan tiketnya segera, khawatir gak kebagian katanya."
"Kenapa gak abis sholat isya' aja mbak? Noh liat masih banyak yang mau Naura beresin"
Jawabnya sambil menunjuk tumpukan barang yang masih bertengger dalam koper."Gak bisa ra, ntar malem di pesantren ada acara sima'an Qur'an. Gak ada yang mau nganterin kita. Ayolah sempatin dua jam doang kok, catat juga barang-barang yang kamu butuhin."
"Yaudah deh Naura manut aja."
"Nah gitu dong. Oh ya ra, Ummah tadi juga berpesan ntar malem kamu juga harus hadir di acara sima'an, soalnya keluarga besar pada hadir."
"Yeu si mbak, aku bukan hafidzah. Malu gabung sama mereka."
"Gak usah minder gitu ra, masih banyak kesempatan kok untuk menghafal, dan lagi ini sima'an al-Qur'an loh kok malah ngehindar. Ingat ya kata pepatah semakin kita mendekatkan diri pada hal yang baik, insyaallah nanti akan ketularan."
"Nggeh siap ustadzah." Jawab Naura cengengesan
"Dibilangin malah gitu, yaudah deh mbak keluar dulu kayaknya Mas ilham udah datang, bye." Ucap mbak Qonit menutup obrolannya lalu berlalu keluar dengan merobohkan satu tumpukan baju yang udah selesai Naura lipat.
"Ih, mbak Qonit ngeselin banget. Naura bilangin nih ya ke abah ummah."
"Bodo amat" jawabnya sambil menutup pintu.
Naura mendengus kesal. Ternyata sifat usil mbak nya belum juga hilang meskipun sudah menikah. Naura kemudian melanjutkan aktivitasnya dan akhirnya selesai juga tepat pukul 14.00 wib.
Ia lalu merebahkan dirinya untuk beristirahat sejenak, sambil memikirkan apa saja perlengkapan yang mau ia bawa ke Jakarta.
📖📖📖
"Assalamu'alaikum ra, kaifa haluk?" Ucap suara di seberang
Ia adalah Aqila, teman satu pesantren yang juga berkesempatan kuliah di PTN.
"Wa'alaikumussalam warohmah, alhamdulillah ana bi khoir. Dapat dari mana nih nomerku?"
"Oh tadi aku iseng minta kontakmu ke ustadz yang bantuin urusan kita untuk kuliah. Oh ya btw jadi nih ke Jakarta?"
"Insyaallah La, do'akan saja ya."
"Amiin ya Allah. Oh ya ra ntar kalau di Jakarta ketemu cogan jangan lupa kenalin ke aku ya"
"Astaghfirullah Aqila, pikiranmu ya cogan mulu. Dengerin ya aku tuh ke Jakarta buat nimba ilmu bukan cari cogan."
"Hehe canda kali ra, ku yakin kamu gak akan neko-neko disana, kan kamu ning yang jodohnya udah pasti gus dan dipilihin sama ortu, iya kan? Ngaku deh."
"Dih gak jelas, aku gak akan dijodohin."
"Lihat saja ntar."
Aqila kemudian menutup telponnya setelah ngomong panjang lebar.
Sudah menjadi rahasia bersama di kota tempat Naura tinggal, bahwa anak dari keluarga kyai sudah pasti menikah dengan jodoh pilihan orang tuanya yang juga memiliki latar belakang yang sama, dan rata-rata mereka menikah muda, bahkan ada yang masih di bawah umur yaitu pada rentang usia 16 - 20 tahun. Biasanya mereka akan dinikahkan setelah menuntaskan hafalannya.
Namun Naura ingin menepis paradigma tersebut, baginya semua manusia itu sama, apapun profesinya. Ia juga menyukai kebebasan, bebas memilih pendidikan, lingkungan dan juga teman hidup. Hal ini terlihat pada keputusannya yang tetap gigih melanjutkan studi ke Jakarta, padahal tak ada satupun anak dari keluarga besarnya yang kuliah maupun sekolah di luar pesantren. Alhasil Naura sukses menjadi topik utama setiap perbincangan yang terjadi diantara keluarga besarnya.
📖📖📖
"Ra, ayo berangkat sekarang biar gak terlalu sore, mbak dan mas nunggu di mobil."
"Iya mbak siap."
Naura bergegas keluar kamar, sudah ada abah ummahnya di ruang keluarga. Kemudian ia berpamitan kepada keduanya.
"Hati-hati ya nak, uangnya udah abahmu berikan ke Qonita, beli apa saja yang kamu butuhkan, kalau kurang pinjam dulu uang mbak mu." Ucap ummah
"Nggeh mah, insyaallah cukup."
Naura kemudian keluar menuju mobil yang sudah menunggunya depan teras.
"Berangkat sekarang?" Tanya Mas Ilham
"Iya mas." Jawab mbak Qonita.
Mobilpun melaju perlahan meninggalkan halaman pesantren, hari ini tujuan mereka adalah pesan tiket kereta api dan beli perlengkapan Naura.
📖📖📖
"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu mbak mas?" Sapa mbak kasir ramah
"Mau beli tiket kereta ke Jakarta, untuk perjalanan lusa mbak."
"Baik, dari stasiun mana ke mana mbak?"
"Malang."
"Malang baru atau lama."
Naura mulai bingung, pasalnya ini baru kali pertamanya ia pesan tiket dan tidak tau satu persatu nama stasiun, ia mulai melirik pada mas ilham dan mbak Qonita untuk minta bantuan.
"Hmm, Stasiun Malang baru saja mbak, tujuan stasiun Gambir." Jawab Mas Ilham, mengerti isyarat kebingungan yang Naura tampakkan padanya.
"Mohon maaf mas, untuk rute perjalanan yang mas pilih hanya tinggal kelas eksekutif saja, dengan kereta Gajayana harga tiap seatnya 550rb."
"Oke gak papa mbak pesan saja satu, atas nama Naura Aluf Salsabila."
Naura hanya melongo mendengar harga yang mbak kasir sebutkan.
"Apa nggak kemahalan mas dengan harga segitu? Memangnya berapa uang yang abah berikan?." Ucap Naura memastikan
"Sudah Ning, gak usah dipikirin, yang terpenting sekarang kamu berangkat dulu ke jakarta dan urus semua pemberkasannya."
"Betul tuh ra, udah gak usah pusing soal biaya, itu urusan kita-kita aja."
Naura hanya mengangguk pasrah. Mereka kemudian membeli beberapa barang yang dibutuhkan dan segera kembali ke mobil, karena matahari sudah mulai terbenam.
📖📖📖
Haii, Naura kembali lagi..
Ada yang masih stay?Jangan lupa vote terus ya, biar author semangat terus nulisnya.
Selamat istirahat, Have a Nice Dream ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Apa
Ficción General"Jika hanya sebab jalanmu lebih lambat dari mereka, telah membuatmu jatuh dan enggan berjuang kembali, maka sungguh engkau telah lupa bersyukur, bersyukur atas apa yang engkau pijaki hari ini karena inilah takdirmu bukan takdir mereka." - Naura Aluf...