IV. Penantian Sepercik Cahaya [1/3]

35 11 3
                                    

Tiupan angin dingin menciptakan desir di padang pasir provinsi Daszert. Gersang tak lagi terasa karenanya, tetapi seribu sayang sedikit pun sejuk yang mereka sampaikan tidak terlalu diindahkan bagi mereka, baik yang telanjur terlelap maupun yang tengah terjaga utuh bersama baju zirahnya. Pun, mereka pastilah abai terhadap indahnya bintang bertabur di langit sebab enggan dianggap lalai terhadap tugas.

Barangkali itu juga berlaku kepada seorang pria muda di kamar yang berselimut gelap. Sendirian, tenggelam di dalam mimpi. Seolah tak sedikit pun udara berhasil masuk lewat jendela, peluh membalut sekujur tubuhnya.

Sempat kepalanya tersentak, lalu menegang pula lehernya bersama napas sesak bagai tercekik sepasang tangan.

Meski demikian ... entah bagaimana ia tetap memutuskan untuk tetap terlelap.

"Nah, kupikir sudah saatnya menanyakan hal-hal kecil darimu."

Begitulah pada akhirnya telinga menangkap suara familier di tengah gelapnya penglihatan, mengundang gerak kesiap sebagai jawaban tanpa sadar.

"Siapa namamu?" Suara itu lantas melanjutkan patah kata, menyibak gemelatuk gigi dari gigil seonggok tubuh di hadapan.

Sempat terdengar tarikan napas yang berusaha bersuara guna menjawab pertanyaan, tetapi—

"Tidak."

Satu cetusan menyita lebih dulu jawaban yang nyaris keluar dari mulutnya.

Suara itu sukses mengantarkannya dalam keremangan, dengan tatapan yang meliar ke segala arah di antara buram yang membingkai. Lantas ia dihadapkan pria berambut pirang yang begitu samar wajahnya, tetapi entah mengapa ia yakin sekali bahwa sosok itu sedang menyeringai.

"Sekarang kau akan memeluk nama baru ... Ravn." Demikian pasti ia meyakinkan seisi kepala pemuda di hadapannya. "Kau merupakan anak yang terlahir dari kegelapan. Sosok yang membawa kemenangan kepada kami; yang mengelukan ketenangan bagi para pemujanya kelak.

"Kau sosok yang membuang rasa belas kasih; sosok haus darah terhadap mereka yang terus memohon ampun padamu."

Bau anyir mengundang pandangan tertuju kepada sepasang tangan yang dikuasai gentar. Betapa tidak. Ketakutan jelas menghuni hati usai mendapati noda-noda merah yang menghiasi telapak tangan.

Menengadah ia kepada denting pedang yang beradu persis di hadapan. Pemandangan seketika telah tergantikan oleh kericuhan yang timbul dari perpecahan. Penuh indra pendengarannya oleh elemen es yang diempas ke tanah menciptakan jalur licin, kobar lidah api, juga retakan tanah yang disusul oleh kemampuan sulur tumbuhan yang muncul menarik musuh.

Kehancuran menghiasi lingkungan sedemikian rupa. Gedung yang semula kokoh bahkan kini tak lebih menjelma reruntuhan yang telah rata dengan tanah. Tiada henti pula suara isak tangis menyayangkan kehilangan yang mereka alami.

Pandangan bergeser persis ke suara sesenggukan yang begitu jelas di dekatnya. Tampak sepasang perempuan gemetar hebat akan keberadaannya. Siapa sangka, mereka bahkan sampai berlutut memanjat harapan; memohon agar nyawa mereka diampuni dari kekejamannya.

Namun, ia lebih memilih mendengarkan tawa yang mengalun manis di dalam kepala. Lantas berbisik seiring ia merasakan cekat di tenggorokan, kala tanpa sadar mengangkat tangan yang tak tahu entah sejak kapan menggenggam sebilah pedang.

"Pertunjukan yang menarik, benar begitu? Pun, mereka melantun irama yang begitu menyenangkan hati; melodi dari kesengsaraan ...," ujar bisikan suara-suara wanita dengan berbagai macam oktaf. "Nah, budakku ... pastilah kau tahu betul bagaimana mengakhirinya dengan indah, bukan?"

Tidak perlu berpikir panjang, seolah tanpa beban tangannya mulai mengayun satu tebasan ke arah dua wanita yang kian kencang pekiknya.

Namun, utuh semua pandangan itu buyar dalam satu sentakan yang disambung oleh napas yang terengah.

SeeressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang