Rin lekas berlari keluar, mencari sumber suara yang mengundangnya mengambil langkah. Dia bisa merasakan angin berembus kencang dari segala penjuru. Dingin yang mereka sebar begitu menyejukkan, tetapi kehancuran yang mereka suguhkan teramat menggentarkan hati.
Kekuatannya mengempas segala benda mati, melempar sengsara teruntuk yang hidup. Angin berpusar kepada satu titik yang menarik atensi empunya manik keemasan.
Sang Penjaga Angin.
Bulu keemasannya telah menghilang ditelan kelabu yang menyaru dengan sekitar. Gradrua mengepak sayap tiada henti, sekuat tenaga berteriak pilu, bersama pandangan menyalang ia tujukan kepada siapa saja yang hendak melarikan diri dari bencana yang ia cipta. Dari situ, Rin bisa melihat satu-satunya warna yang melekat padanya. Persis di sepasang bongkah ambar, tampak semburat merah hendak berkuasa menyala-nyala.
Sekadar menatapinya sukses mendatangkan nanar di pelupuk mata Rin. Tidak hanya debu yang membumbung kini tampak nyata untuk dirasa, tetapi cairan bening itu menggenang pula ditujukan kepada sang foniks angin.
Seharusnya Rin tetap menanti apa yang kelak terjadi. Namun, kini ia memilih bergerak melawan arus khalayak yang berhambur kabur.
Setidaknya dengan menyadari kebebasannya, ia tahu apa yang harus dilakukan sekarang.
Kepada angin langkahnya berserah. Pelan-pelan ia mengumpulkan Aora di tangan, mendatangkan permata biru tua untuk ia usapkan ke mata guna menghalau debu yang kian ramai, menyembunyikan air mata yang hampir jauh ke pipi. Lekas ia memunculkan permata lain senada permukaan laut, menangkis puing-puing dengan tameng es yang bermuasal dari pecahan permata.
Makin sempit jaraknya kepada sang Penjaga Angin yang masih mengamuk, kian tebal debu yang mengikuti arus angin menghalau pandangan. Si gadis pantang menyerah. Meski badai mengguncang langkahnya, kuat-kuat ia menapak, meneruskan jalan yang makin lama ia rasa berat.
Sebongkah dahan besar melayang tanpa Rin mampu mengelaknya, sukses menyambar bahu kiri hingga kebas dapat ia rasa. Rin mendesis menahan denyut, tetapi tatapannya sedikit pun tak hirau terhadap luka yang merembes di lengan baju.
Hampir sampai! Begitulah batinnya menekankan diri terus berfokus.
Posisinya membenarkan kata hati, Gradrua telah dekat di pandangan mata. Maka Rin mengulurkan tangan, berusaha menggapai ekor Gradrua yang meliuk-liuk mengikuti gerak amukannya. Hampir telunjuknya nyaris menyentuh bulu itu, tetapi satu langkah yang membuat Rin terhuyung lekas memberi kesempatan kepada badai untuk segera menyeret si gadis mengikuti arus.
Tiada henti ia menjerit sejak dipaksa angkat kaki dari tanah, pula terlalu takut manik keemasannya terbuka memandang puing-puing yang ikut melayang di sekitar. Rin tidak tahu berapa banyak ujung-ujung puing, dahan, apa pun itu melukai kulitnya, menabrak anggota tubuh yang barangkali kelak menciptakan lebam. Segala fokus indranya telah lenyap, membuat ia tak bisa melakukan apa pun dalam ombang-ambing arus selain menerima serangan acak, juga mendengar embusan badai yang menakutkan.
"Empunya masa lampau yang penuh sengsara ...."
Membutuhkan waktu lama, tetapi usai bisikan melantun mengejutkan hatinya, Rin tidak lagi mendengar suara-suara. Segalanya hampa hingga mengundang keheranan yang membangkitkan keberanian untuk membuka mata.
Angin seolah bagai tengah memelintir seisi bumi atas kuasanya. Badai berhenti, arusnya masih terlihat jelas dari debu-debu yang terangkat. Puing-puing tertahan di sekitar Rin yang tengah melayang di atas kehancuran.
Sudah cukup ia pandangi apa-apa yang terjadi di bawah sana, lantas si gadis mengangkat kepala ke depan perlahan-lahan. Dia berada persis di hadapan sang Penjaga Angin, dibekukan waktu bersama paruh yang meneriakkan amarah tertahan, serta sepasang sayap yang hendak menggulung angin tiada henti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seeress
Fantasy16+ for violence [Fantasy, Adventure] Lebih dari puluhan abad lamanya, seisi Dunyia damai sebagaimana semestinya. Hingga suatu kala tertulis sepintas takdir mengerikan di Pohon Kadaroak, bahwa sahabat Sang Pencipta yang pernah Dia cinta dan Dia kasi...