XVI. Lentera Harapan [1/2]

16 2 0
                                    

Perjumpaan mereka bukanlah hal yang senantiasa Wei Liwei nanti, tetapi selalu mampu ia duga kalau ini sudah saatnya bagi mereka untuk bertemu tatap. Pertemuan ini acap diadakan di tempat yang sama, diisi satu meja berhias sepasang cangkir berisikan teh dengan dua bantal duduk di tengah ruang penuh kabut.

Tidak perlu melangkah ke sana, dia sudah lebih dulu duduk di atas salah satu bantal bersama sesosok pria setengah rusa duduk di seberangnya sembari mengukir senyum di seberang meja.

Itulah dia, sahabat lama; dalang perjamuan sederhana, sekaligus lawan bicara yang menyeretnya kemari tiap ia memiliki kesempatan.

"Sekali lagi kau mengabulkan permohonanku yang sederhana, sahabatku."

Tampaknya kali ini sosok itu memilih untuk langsung kepada inti percakapan, sebagaimana mereka memulai dalam lima langkah yang berlalu lepas, terburu-buru seolah waktu begitu terbatas. Dia dengan sepasang mata yang tertutup itu lalu menelengkan kepala dengan anggun, lalu berujar, "Kupatutkan terima kasih padamu."

"Tiada yang kulakukan selain membeberkan apa yang perlu mereka ketahui. Sungguh, mereka berjuang sendiri meraih satu dari delapan titik yang mereka cari-cari," balas Wei Liwei selagi ia menuruni pandangan kepada cangkir teh di hadapannya.

Oh, betapa ia tahu isi di dalamnya sama sekali tak memiliki rasa lagi meninggalkan kesan. Maka Wei Liwei sekadar terkekeh mengalihkan pembicaraan, "Perlukah kau menyuguhiku sesuatu yang tidak mampu memuaskan lidahku setiap saat aku menerima undanganmu?"

Si setengah rusa terkekeh, bertambah menawan senyumnya.

"Maafkan diriku yang tak pernah mengerti segala rasa yang dicecap makhluk fana," katanya sambil mengangkat cangkir.

Dia mengangkatnya ke samping, menoleh kepada cangkir tersebut seolah hendak mengendalikan isi. Benar saja uap yang mengepul di sana menghilang, tergantikan oleh kemilau beterbangan yang membentuk dedaunan mungil.

"Tidakkah kau ingat? Dengar-dengar kau bahkan memberikan cukup banyak waktu agar membiarkan mereka singgah bersamamu." Selagi menikmati pemandangan yang menakjubkan dari cangkirnya, ia mengembalikan topik pembicaraan bagai membalik telapak tangan. "Itu merupakan harapan terpendam yang tahu-tahu kau wujudkan begitu saja; menjaga si Permata Hati Berselimut Harapan."

Dalam kumis dan jenggotnya yang kelabu, Wei Liwei terkekeh. "Aku hanya melaksanakan tugasku sebagai guru; membimbing mereka sampai dirasa pantas untuk dilepaskan ...."

"Apakah mereka merepotkanmu?"

"Oh, kini kita berbicara mengenai proses? Tiada hal yang lebih merepotkan ketimbang menghadapi murid yang pemalas." Wei Liwei kembali menurunkan pandangan. Kini isi cangkirnya sudah penuh oleh dedaunan yang hendak menjelma kupu-kupu. "Beruntung mereka giat, meski membutuhkan waktu dan jalan yang panjang untuk menempuh keberhasilan mereka, dan—ah, kupikir kau bisa melihatnya dari atas sana."

Lawan bicara menahan tawa di balik giginya yang berderet rapi.

"Baiklah. Kalau begitu, agaknya kau melakukan hal yang tidak perlu karena begitu khawatir bahwa kelak mereka akan tersesat?" tanggapnya kemudian.

Ah, jadi dia mengungkit perihal surat yang kusampaikan kepada para petinggi? Wei Liwei membatin selagi melirik setengah rusa yang akhirnya meletakkan cangkir kosong.

"Itu bukanlah hal yang patut dianggap tak penting." Beruntung, Wei Liwei mampu menepis ucapan lawan bicara. "Sekali lagi, aku hanya melakukan apa yang semestinya guru lakukan; menghadiahi murid berupa perbekalan yang mereka butuhkan, mumpung ini masihlah merupakan langkah pertama bagi mereka."

Pria setengah rusa di hadapannya mendesah. "Kau memang tidak pandai berbasa-basi dan terus menjawab seperlunya seperti biasa, ya. Namun, betapa betapa aku mengagumi sisi bijakmu mampu menutupi hal-hal kurang menyenangkan itu."

SeeressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang