Chapter 22: Rumit

9.7K 2.3K 313
                                    

Yuhuu update sesuai jadwal. Akhirnya sesuai jadwal lagi🥺🥺

Yokk, vote dulu baru komen sebanyak-banyaknya😘🤗❤

Yokk, vote dulu baru komen sebanyak-banyaknya😘🤗❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gempar menurunkan Mint di dalam gimnasium. Di sana ada cowok-cowok sedang bermain basket.

"Mint, cukup. Kamu baru aja bikin heboh satu sekolah robek catatan Ivory. Terus kenapa harus ribut sama Fuchsia?"

"Aku tau, aku salah robek catatan Ivory. Tadi Fuchsia bahas soal aku ngerebut yang bukan milik aku. Kalo dia mau ambil, silakan. Aku nggak masalah."

"Apa sih maksudnya?"

Mint belum memberitahu Gempar soal ibu tirinya adalah ibu kandung Fuchsia. Mungkin nanti dia baru akan memberitahu.

"Udah lah, nanti aja. Aku mau masuk kelas."

Sebelum Mint pergi, Gempar menahan pergelangan tangannya.

"Janji sama aku kalo kamu nggak akan ribut kayak tadi semisal lihat Fuchsia. Jangan nambah image kamu buruk."

Mint mengulas senyum miring. "Sejak kapan ada image yang bagus di diri aku? Nggak ada. Semua orang tau aku ini tempramen, gampang tersulut emosi, dramatis, sok tersakiti, perundung, dan gampang main tangan. Apa yang bagus? Nggak ada. Kalo aku jadi tokoh utama, aku bukan karakter protagonis. Aku antagonis yang disumpahin supaya cepet mati. Kalo image aku udah jelek, ya udah. Mau dibuat bagus kayak apa pun, orang akan tetap bilang jelek dan menganggap aku mean girl."

"Mint, aku tau kamu baik. Aku nggak perlu jabarin kebaikan kamu buat Elva dan Ninda. Tapi--"

"Stop right there," potong Mint. "Aku nggak akan ribut lagi sama Fuchsia. Aku mau masuk kelas. Ini serius."

Gempar baru akan mengutarakan pendapatnya, tapi Mint sudah pergi berlalu begitu saja. Gempar menghela napas berat. Demi memastikan kata-kata Mint benar, dia menyusul dari belakang.

✨✨✨

Mint masuk ke dalam ruangan ayahnya karena dipanggil. Entah apa yang mau dibicarakan ayahnya. Ini pertama kalinya pula ayahnya memanggil seperti ini. Mint tidak mau senang dulu. Ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi meski sebenarnya dia ingin senyum saat dipanggil seperti ini.

Tepat setelah membuka pintu, Mint masuk sedikit ke dalam dan melihat ayahnya sudah berdiri menunggunya. Tak ada senyum di wajahnya. Cara ayahnya bertolak pinggang menunjukkan sesuatu yang membingungkan.

"Kenapa kamu robek catatan orang lain di sekolah? Kamu tau nggak catatan itu penting buat dia?"

Detik itu pula Mint tahu, ayahnya memanggil untuk memarahinya bukan untuk bercengkrama santai ataupun melakukan bayangan-bayangan manis yang dia khayalkan.

Mint (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang