11:11

60 9 12
                                    

Di kursi belajarnya, Bietta meregangkan badan. Sejak usai makan malam sampai hampir jam sebelas malam dia berkutat dengan buku dan layar laptopnya. Itu karena akan diadakan kuis di kampus esok hari.

Bietta melepas kacamatanya, kemudian menghabiskan segelas air putih yang tadi dia ambil di dapur. Lalu beralih mengecek handphone untuk melihat notifikasi group chat. Namun hal itu tidak berlangsung lama, Bietta mematikan gawainya karena kedua matanya sudah sangat ingin terpejam.

Gadis itu berdiri dan berjalan menuju jendela kamarnya yang setengah terbuka. Selalu begitu. Saat belajar, Bietta akan membuka jendelanya untuk sekedar memandangi langit malam yang cerah—tentu saja, pengecualian kalau sedang turun hujan atau salju—apalagi kamarnya yang berada di lantai dua membuatnya leluasa untuk melihat bintang-bintang di luar sana.

Saat akan meraih gagang jendela, sebuah suara memanggil namanya.

"Bitnaaa! Bitnaaa!"

Suara itu terdengar seperti bisikan yang lumayan keras. Bietta batal menutup daun jendela, dan malah menyembulkan kepalanya keluar. Mencari-cari asal suara.

"Tepat di seberang rumahmu."

Bietta menatap lurus pada rumah di samping rumahnya. Rumah paman yang gemar berkebun.

"Donghyuck?"

Jika dipikir-pikir, seharusnya Bietta mengenali suara itu. Selain teman-temannya dari sekolah menengah, ada satu orang lagi yang lebih memilih memanggilnya dengan nama 'Bitna', yaitu Donghyuck.

"Kamu disini? Ngapain?"

"Paman memintaku menginap untuk menemaninya. Dia di rumah sendirian, karena anak-anaknya lagi ke luar kota. Jadinya, yah... Aku disini sekarang."

Bietta ber-oh ria menjawabnya.

"Kamu belum tidur?"

Gadis itu menggeleng singkat "Baru selesai belajar."

"Wah, rajinnya."

"Emang kamu nggak belajar???"

"Ah, itu gampang. Aku hanya tinggal datang dan kerjakan saja."

Bietta memutar matanya malas. Satu fakta yang baru dia tau setelah mengenal Donghyuck adalah bahwa laki-laki itu termasuk dalam kategori anak yang encer otaknya. Donghyuck pernah mengatakan kalau dulu dia cukup sering memenangkan kejuaraan olimpiade di sekolahnya.

Sejenak keduanya menerawang cakrawala. Menatap jutaan kerlip bintang yang bertaburan jauh diatas atap rumah yang menaungi mereka.

"Jam sebelas lewat sebelas." Tiba-tiba Donghyuck berujar. Bietta mengalihkan netranya pada laki-laki di seberang rumahnya.

"Aku masih suka membuat permintaan di waktu ini. Kamu mau melakukan juga, nggak?" Kata Donghyuck sekaligus bertanya.

Bietta lantas tersenyum, "Boleh."

Keduanya bergeming setelah itu. Sibuk memejamkan mata dan menyatukan tangan seraya merapalkan harapan.

Bietta membuka matanya lebih dulu dari Donghyuck. Dia kembali menerawang. Detik setelahnya, Bietta menahan napasnya takjub. Sebuah kilatan cahaya melintas di langit malam kala itu. Benda berekor yang terang dengan semburat kebiruan di sekitarnya membelah angkasa seakan sedang unjuk keindahan pada bintang-bintang lain yang menjadi saksi bisu di sana.

"Liat nggak tadi?" Donghyuck bertanya. Bietta tidak menyangka laki-laki itu sudah tidak lagi memejamkan mata dan juga melihat apa yang dia lihat barusan.

"Mm-hm." Bietta mengangguk mantap.

"Bisa lihat bintang jatuh, itu impianku dari lama."

"Aku juga sama!" Bietta menanggapi.

11:11 [Lee Haechan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang