Donghyuck

58 6 5
                                    

Bietta duduk memperhatikan jalanan di luar sana yang beberapa masih tergenang air hujan. Jemarinya menari bebas membuat ukir-ukiran di kaca jendela yang dingin. Sesekali menggosokkan telapak tangannya untuk menghangatkan tubuh.

Bus yang dia tumpangi sebentar lagi akan mencapai tujuannya. Bietta turun di halte pemberhentian tidak jauh dari rumahnya. Lalu berjalan kaki melewati jalanan yang lembab.

Saat hampir sampai, matanya menangkap seorang laki-laki yang berdiri di depan gerbang rumahnya. Laki-laki tersebut memakai jaket hitam dan tas ransel di punggungnya. Orang itu terlihat seperti akan mengetuk gerbang namun enggan.

Dengan tenang Bietta menghampiri, "Maaf permisi, sedang mencari siapa?"

"Ah maaf, saya mencari pemilik rumah ini. Tapi sepertinya tidak ada orang di dalam." Jawab laki-laki itu canggung.

Bietta diam-diam menelisik orang yang berdiri di depannya. Sepersekian detik atensinya jatuh pada gantungan kunci bertuliskan 'fullsun' yang bergelantungan pada resleting tas.

'Donghyuck...?' tebaknya di dalam hati.

"Kamu Donghyuck, kan?" Bietta bertanya dengan hati-hati.

Laki-laki itu mengangguk.

Bietta tersenyum puas, "Kotak kayu milikmu masih ada di kamarku. Sini, masuk dulu."

Donghyuck mengangguk sopan dan berterima kasih. Dia menurut saat Bietta menyuruhnya duduk di sofa ruang tamu.

"Sebentar ya, aku ambilkan." Bietta bergegas mengambil kotak kayu di kamarnya yang setelah ini akan kembali pada pemiliknya.

"Ini, kan?"

"Iya. Makasih udah disimpenin." Donghyuck menerima kotak itu dan memasukkannya dalam tas, "Kamu udah denger semuanya ya pasti?"

"Iya. Maaf—"

"Gapapa kok, aku bikin emang buat didengar orang lain."

"Aku seneng bisa dengerin. Aku jadi bisa memandang luar sana dengan lebih baik. Makasih, ya."

Donghyuck tersenyum, "Syukurlah."

Setelah itu terjadi kecanggungan diantara mereka. Bietta yang menatap kosong lantai rumahnya, dan Donghyuck yang hanya memainkan tali ras ransel nya.

"Yaudah, aku... balik dulu. Makasih ya." Akhirnya Donghyuck membuka mulut.

"Tunggu sebentar!" Seru Bietta sembari meraih lengan laki-laki itu.

"Donghyuck— kamu... baik-baik aja kan?"

Yang ditanya terdiam sesaat.

"Aku lagi berusaha." Dia tersenyum, "Makasih, udah bertanya."

Selanjutnya Bietta mengangguk pelan dan turut menyunggingkan senyum, "Habis ini kamu mau kemana?"

"Jenguk mama, adik, sama somi."

Bietta paham benar dengan kata 'jenguk' disini.

"Aku ikut, bolehkah? Aku pengen tau mereka."

Senyum Donghyuck melebar, "Boleh."

















.・。.・゜☆・11 : 11・☆ ・゜・。.

















Donghyuck memutuskan untuk menuju flower shop terdekat untuk membeli bunga. Pun dengan Bietta. Tapi karena gadis itu tidak tahu menahu jenis bunga apa yang harus dibeli, Donghyuck mengatakan agar Bietta membeli apa yang akan laki-laki itu beli nanti.

Kini keduanya berdiri di tanah lapang tempat peristirahatan banyak orang. Sore ini pemakaman terlihat sepi, hanya semilir angin yang setia pergi dan kembali lagi.

Donghyuck meletakkan setangkai bunga matahari di makam Somi. Hanya setangkai, tanpa ada eksistensi bunga yang lain, tanpa ada kain ataupun pita hias yang merumbai. Bietta melakukan hal yang sama.

Setelahnya Donghyuck hanya diam berdiri memandang batu yang bertuliskan nama teman kecilnya itu.

"Dia suka bunga itu. She really likes that much." Tiba-tiba Donghyuck berujar.

Di sampingnya, Bietta menyimak.

"Dulu, di halaman depan ada bunga matahari. Somi yang tanam." Lanjutnya. "Juga dengan gambar bunga matahari di kamarku."

"Ah itu... Di laci kedua, kan?"

Donghyuck tertawa kecil, "Iya."

Sesudah dirasa cukup, mereka beranjak menuju dua makam selanjutnya. Dua makam itu berdampingan. Mereka meletakkan bunga itu di atasnya.

Sama seperti tadi, Donghyuck diam berdiri menatap dua nisan di depannya selama beberapa saat.

Bietta mengambil napas pelan, "Mamamu... suka bunga mawar?" Tanyanya.

"Mama? Nggak juga. Mama selalu menghargai pemberian orang. I'm sure, she won't mind it, Mama akan menerima semua bunga yang akan kamu berikan." Jelas Donghyuck.

"Oh, i see..."

Bietta bertanya lagi, "Bagaimana dengan adikmu?" Kemudian cepat-cepat menambahkan "Ah maaf ya, kalau aku kebanyakan bertanya. Kamu boleh kok merasa keberatan menjawab. Aku akan mengerti... Sorry."

"It's okay. Aku seneng ada orang yang ingin tau tentang mereka."

Donghyuck mengambil napas sedikit lebih panjang, "Itu bunga kapas —his birthday flower. Dari dulu aku hanya membayangkan kalau bunga-bunga kapas yang selalu aku bawa akan berubah jadi tempat tidur yang empuk untuk dia tidur dalam waktu yang panjang." Donghyuck tertawa di sela-sela kalimatnya.

"He deserves it, a comfortable place and a good sleep." Ujar Bietta menyetujui.

"Yah, kalau boleh jujur, aku nggak tahu apa bunga kesukaannya." Donghyuck tersenyum nanar. "Aku kakak yang buruk."

Lawan bicaranya menoleh dengan cepat ke arah laki-laki itu, kemudian mengernyit.

"No. Ini diluar kendalimu, Donghyuck. Tidak mungkin kamu tahu hal ini akan terjadi lalu menanyakan bunga apa yang mereka sukai untuk diberikan di tempat pemakaman mereka sendiri, kan?" Sanggah Bietta. "Jangan katakan itu lagi, kamu harus selalu berkata-kata yang baik pada dirimu sendiri."

Gadis itu mengeratkan kardigannya, "Mereka akan sedih jika kamu juga sedih, mereka pasti berharap yang terbaik buatmu, maka dari itu kamu harus hidup dengan sebaik-baiknya disini."

Donghyuck tidak menjawab. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku jaket. Selama berdetik-detik yang ada hanya hening.

Donghyuck bersedekap, kemudian mengangguk singkat. "I'll try my best."

Bietta menghadapkan wajahnya pada laki-laki di sebelahnya. "As you should."





10 Juli 2021, Sabtu.

11:11 [Lee Haechan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang