5. Menjadi Warnamu

16 3 0
                                    


Zahid merebahkan badannya di atas tempat tidur. Pandangannya menerawang ke arah langit-langit kamar. Suara jam dinding mengisi keheningan. Ini sudah larut malam, namun pemikirannya semakin riuh. Pertanyaan-pertanyaan mulai mengerubunginya. Bersamaan bayang-bayang kejadian seharian tadi yang sungguh di luar perkiraannya.

Tak ingin berlarut dalam pertanyaan yang jelas belum menemui jawaban, ia segera bangkit dan duduk di tepi ranjang. Sejenak menghela nafas, sebelum kemudian berdiri dan meraih sebuah gitar yang tergantung di dinding kamarnya itu.

Kakinya melangkah menuju balkon kamar. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya saat hawa dingin menyapa. Sedikit bergidik namun enggan mengambil baju hangat. Sebuah kursi yang tepat disimpan di sana menyambut. Zahid merebahkan diri sambil menatap langit malam. Sementara itu, jarinya mulai memetik senar gitar kesayangannya.

“Tak semua orang jalannya itu. Jalani sendiri jalaann ninjamuuuu ...” Zahid menghentikan nyanyiannya. “Ish kenapa sih?” tanyanya pada diri sendiri dengan sedikit kesal. Dia sungguh tak bisa melepaskan ingatannya dari kejadian yang baru saja dia alami.

Flashback on

“Woi! Tangan gue bisa lumutan kalo Lo bengong terus,” sela Zahid.

“Eh,” Athaya tersadar. Sedikit ragu, dia menggerakkan tangannya perlahan. Belum sampai menerima uluran tangan, Zahid terlebih dahulu menjabat tangan Athaya. Membuat perasaan aneh dan bingung Athaya semakin menjadi-jadi.

Zahid memasang senyum lucu saat menunggu Athaya menjawab.

“Gu ... gue Athaya Zahirah Mirza. Makasih,” ucap Athaya terbata-bata.

“Athaya Zahirah Mirza. Nama Lo bagus,” puji Zahid. Lagi, terlihat sebuah senyum simpul di wajah Athaya. Namun tak lama, ia segera berekspresi seperti semula. “Gue harus manggil Lo apa?” tanya Zahid melanjutkan.

“Bebas. Orang manggil gue Tha. Make it simple,” tutur Athaya dengan wajah datarnya.

Zahid terdiam sejenak. Matanya sedikit menyipit melihat Athaya yang memalingkan wajah setelah beradu tatap dengannya.

“Aya,” ujar Zahid membuat Athaya refleks menatapnya terkejut. “Gue manggil Lo Aya.” Zahid menegaskan. Tangannya terlipat di dada disusul tubuh yang bersandar pada kursi yang didudukinya.

“Aya?” Athaya berusaha meyakinkan bahwa apa yang dia dengar tidaklah salah.

“Iya, Ayaa. Gue manggil Lo Aya. Kenapa emang?” tanya Zahid kemudian.

Athaya terdiam sambil lagi-lagi menundukkan kepalanya. Lalu beberapa detik kemudian mengangkat kepala sambil tersenyum. Disematkannya rambut terurai yang menghalangi wajahnya pada belakang telinga. Hal yang benar-benar tak pernah dia lakukan di hadapan orang lain.

“Gak. Gue suka,” jelas Athaya.

“Syukurlah,” timpal Zahid dengan senyum lebarnya.

“Ta ... tapi maaf. Gue gak bisa berteman sama Lo,” sambung Athaya. Membuat senyuman Zahid perlahan memudar.

Zahid terdiam. Bibirnya yang semula menunjukkan senyuman ceria perlahan berubah heran. “Kenapa?” tanyanya keheranan. Di hadapannya Athaya duduk sambil menunduk. Beberapa saat terdiam belum menjawab pertanyaan yang Zahid lontarkan.

“Gak. Gak mau aja,” pungkasnya memalingkan wajah.

“Temenan? Gak mau?” Zahid meyakinkan. Ini sungguh hal yang tidak dia duga. Beberapa saat lalu mereka berkenalan dengan baik dan penuh senyuman di kedua wajah. Kenapa Athaya menolaknya untuk berteman?

Athaya menggeleng. “Makasih semua bantuan Lo. Hal baik selalu berbalas baik walaupun bukan dari orang yang Lo kasih kebaikan. Kita bicara cukup sampe sini aja,” Penjelasan singkat itu keluar dari mulut Athaya. Membuat Zahid benar-benar kebingungan.

HurricaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang