8. Uluran Tangan

8 1 0
                                    


Setelah Athaya mengalami kecelakaan dan patah tulang waktu itu, ini pertama kalinya dia pergi berjalan-jalan di malam hari lagi. Dengan penampilan yang selalu sama, dengan celana Cargo Dan hoodie oversizenya, dia meluncur di pinggiran jalan dengan papan skate kesayangan.
Tujuannya kali ini adalah nasi goreng langganannya.

“Pak, satu porsi ya. Di makan di sini. Biasa,” ucapnya sambil menuju meja yang masih kosong. Tangannya merogoh saku hoodienya untuk mengambil ponsel. Sambil menunggu pesanannya siap, Athaya mulai berselancar di dunia maya.

Athaya POV


Aku membuka aplikasi Instagram. Sudah delapan bulan sejak postingan terakhir aku unggah di sana, tak ada lagi interaksi yang menunjukkan aku masih aktif di aplikasi sosial media itu. Seperti yang kalian duga, aku tak sepopuler anggota OSIS atau ketua klub-klub ekskul di sekolah. Bukan hanya di dunia nyata, aku juga tak terlihat di dunia maya.

Seperti biasa, akun yang hanya memiliki seratus lebih followers itu tak membuatku menatap antusias. Tak ada yang menarik, tentu saja. Seperti hidupku.

Sampai sebuah notifikasi sedikit membuatku mengerutkan dahi. Ada DM masuk yang entah dari siapa. Cekatan aku membukanya, ternyata akun anak-anak baru gede yang meminta follow back. Membuatku menghela nafas jengah dan memutuskan untuk mengakhiri penjelajahan online itu.

“Zahid,” gumamku tiba-tiba sambil menopang dagu. “Ish!” kemudian refleks menepuk dahiku sendiri. Akhir-akhir ini aku tak bisa memungkiri bahwa pikiranku dipenuhi seseorang bernama Zahid.

Aku tak bisa menyangkal bahwa ada banyak hal aneh yang terjadi padaku sejak aku bertemu dengannya hari itu. Aku tersenyum tanpa paksaan setelah bertahun-tahun usai kejadian traumatis itu. Aku juga berbicara banyak padanya. Bagiku yang selama ini benar-benar tidak melakukan interaksi dengan banyak orang dan sangat jarang tersenyum, hal ini tentu menjadi hal yang sangat aneh.

Zahid. Dia adalah laki-laki yang menyapaku dan berkenalan dengan cara yang aneh. Sebenarnya bukan tak ada orang yang menyapaku. Hanya saja sekian lama ini, aku benar-benar menjauhkan diri dari semua orang. Seperti hanya mengintip dari jendela, tanpa membukakan pintu pada tamu yang mengetuk pintu rumah.

“Nah, Mbak Athaya. Pesanannya sudah siap. Selamat makan ya,” ucap Pak Agus, penjual nasi goreng yang sudah menjadi langganan ku itu. Aku hanya mengangguk sambil mengucapkan terima kasih dengan wajah yang sebagian tertutup tudung hoodie.

Dia adalah satu dari beberapa orang yang biasa melihatku tersenyum meski sedikit. Dulu, suatu malam, saat aku memesan nasi goreng seperti biasanya dan keadaan warungnya sedang sepi, dia pernah duduk dan mengajakku berbincang. Dengan hati-hati dia bertanya tentang aku yang bersikap dan penampilan aneh. Dan kali itu, aku tak sungkan menceritakannya. Sejak saat itulah, dia tahu bagaimana aku yang tak banyak tersenyum sebenarnya sangat menghargai makanannya.

Begitulah aku berdiri bertahun-tahun lamanya. Berpegang pada prinsip tidak mau mengenal orang dengan sangat dekat apalagi menjalin hubungan yang akan membuatku menyayanginya. Bagiku semua itu hanyalah awal dari rasa sakit berkepanjangan akibat peristiwa kehilangan. Aku benar-benar berusaha membuang rasa cinta dari dalam hatiku. Namun ketika aku sadar bahwa aku tak bisa melakukannya, maka aku berusaha mengikatnya. Menyembunyikannya. Dan tak pernah menganggapnya ada.

Aku menyadari bahwa seseorang tengah berdiri di depan rumahku. Dia, Zahid. Dia tak mengetuk pintu rumahku. Dia pula tak berusaha masuk ke dalamnya. Namun hal yang berbeda terjadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HurricaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang