Suara gelas pecah terdengar sampai Athaya menghentikan aktivitasnya. Keran yang mengalirkan air dingin itu segera Athaya hentikan. Wajahnya yang masih tertutup busa dari sabun muka seketika kebingungan. Sejenak Athaya memandangi wajahnya yang terpantul di cermin.
“Dapur kan jauh. Kalau itu orang berantem, gak mungkin. Di sini cuma aku sama Mama yang punya potensi sampe banting barang,” pikir Athaya. Segera ia membilas wajahnya dan keluar dari kamar mandi.
Athaya yang baru saja keluar dengan tangan yang masih menggenggam gagang pintu mengubah ekspresi wajahnya. Ia terkejut saat di jendela kamar sana, seekor anak kucing menatap ke arahnya dengan tatapan menggemaskan.
“Anak kucing?” tanya Athaya sambil menghela nafasnya. Tatapannya berubah lembut sambil berjalan dan meraih anak kucing yang mulai mengeong itu.
“Jadi kamu yang mecahin gelas aku?” tanya Athaya pada anak kucing itu sambil meraihnya. Athaya membuat anak kucing itu sejajar dengan wajahnya. “Kamu kotor banget,” ejeknya menimpali.
Anak kucing itu menggerak-gerakkan kaki depannya seperti berusaha untuk menyentuh wajah Athaya. Membuatnya tersenyum seketika. “Apa? Apa? Mau apa hmm?” tanya Athaya dengan nada seperti menantang anak kucing itu. Namun lagi-lagi Athaya gemas sebab kucing itu semakin lucu mengeong.
Athaya menghentikan tawanya. Dia menatap ke arah jam dan menghela nafas. Waktunya tak banyak untuk segera bersiap-siap berangkat ke sekolah. Ini sudah satu setengah bulan sejak dia kecelakaan dan tangannya mengalami patah tulang. Hari ini setelah yakin sembuh, Athaya akan mulai kembali ke sekolah seperti biasanya.
Namun hatinya bimbang saat melihat seekor anak kucing berwarna hitam putih di tangannya. Dia mengeong lucu sambil terus-menerus mengacung-acungkan kakinya berusaha menyentuh wajah Athaya.
“Yaudah kamu mandi dulu ya,” pungkas Athaya memutuskan. Ia bergegas kembali memasuki kamar mandi untuk membersihkan tubuh anak kucing yang penuh dengan lumpur itu.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Athaya sudah siap berangkat ke sekolah. Di tempat tidurnya, anak kucing itu berbaring sambil sesekali berguling-guling. Tampak nyaman setelah Athaya mengeringkan bulunya dan memberikannya makanan.
Jam menunjukkan pukul 6.35. Dan sepuluh menit lagi, gerbang sekolah akan ditutup. Sementara perjalanan ke sekolah membutuhkan waktu setidaknya lima belas menit. Athaya menghela nafas dalam-dalam. Bersiap jika saja dia harus memaksa dirinya memanjat gerbang sekolah.
Athaya segera meraih papan skatenya. Terdengar kucing hitam itu semakin keras mengeong melihat aktivitas Athaya yang kini menggendong tasnya siap berangkat.
“Rumah kamu di mana?” tanya Athaya seolah kucing itu juga bisa berbicara.
Kucing hitam itu semakin mengeong. Seolah dengan bahasanya dia menjelaskan alamat rumahnya dengan lengkap. Athaya tersenyum. Tak menunggu waktu lama, dia menggendongnya dan memasukkannya ke dalam saku Hoodie oversize nya kemudian terkekeh geli. Tak ada perlawanan. Di dalam saku hoodienya, anak kucing itu malah semakin menyundul-nyundulkan kepalanya manja.Athaya bersiap dan segera memanjat jendela, keluar dari kamarnya dan siap menaiki papan skatenya. Sebelum berangkat, Athaya mengeluarkan anak kucing itu dan membiarkannya untuk kembali pulang ke induknya. Meski sebenarnya dia ingin sekali memeliharanya.
“Babay,” ucap Athaya melambaikan tangan setelah mengelus kepala anak kucing itu perlahan. Sejenak setelahnya, kaki Athaya telah berpijak di atas papan skate yang mulai meluncur di pinggiran jalan bersamaan dengan tangan yang sigap memasang tudung Hoodie di kepalanya.
“Hai, dunia. Aku kembali,” sapanya pelan pada dunia. Sebelum lagu-lagu Anson Saebra menggantikannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hurricane
Teen FictionSemuanya membuatku sesak. Di hadapanku Baba sudah tak bernyawa, dengan iblis itu yang masih berkali-kali menancapkan pisau, memutarnya dan merobek tubuh Baba. Kepalaku hendak meledak. Mataku tak bisa berkedip. Telingaku pengang. Kupandangi Abizard...