21 Ngantuk

669 185 20
                                    

"Aku gak percaya, kamu masih ada di sini sekarang. Pulang ke apartemenku."

Rissa yang semula sibuk menatap jalan, menoleh ke Aksa yang sedang fokus mengendarai mobilnya. Aksa menoleh sekilas dan tersenyum. Rissa balas tersenyum kepadanya, "Kenapa emangnya? Aku gak mau terus-menerus ngerepotin keluarganya Ethan, termasuk Ethan."

Aksa mengernyitkan dahi. "Aku yakin, dia gak bakal repot kalau kamu tinggal sama dia. Justru dia senang kamu tinggal sama dia."

Rissa menggeleng. "Enggak. Dari kecil aku nyusahin dia, masa mau begitu terus? Dia berhak bebas dari aku, bebas bergaul sama siapapun, tanpa terbebani sama keberadaanku."

Senyuman tipis muncul di bibir Aksa. "Kamu kelihatan dekat banget sama dia."

"Aku tetanggaan sama dia dari TK. Ya, masa gak dekat?"

"Aku takut jadinya."

Satu alis Rissa terangkat, gadis itu menatap lekat pemuda jangkung yang duduk di jok pengemudi. "Takut kenapa?"

Lagi, senyuman tipis muncul di bibir Aksa. "Takut hubungan kalian lebih dari sekedar teman. Takut dengan kembalinya dia, waktu kamu buat aku berkurang. Takut tergantikan. Bahkan, sejak ketemu dia di rumah sakit, aku takut kamu ninggalin aku buat balik sama dia."

"Dia sahabat baik aku dari kecil, Sa."

Aksa mengangguk. "Iya, aku coba terima itu karena kamu masih ikut aku. Kalau kamu pilih dia, aku udah bisa pastiin kamu dan dia lebih dari sahabat."

Rissa diam sejenak, sibuk dengan pikirannya sendiri sementara, Aksa juga tak berujar apa pun lagi. Aksa fokus mengendarai mobil hingga tiba di area apartemen tempat mereka tinggal. Bahkan sampai ke luar dan melangkah menuju elevator, tak ada percakapan di antara keduanya. Saat tiba di depan pintu apartemen, barulah Rissa membuka percakapan, memecah keheningan.

"Aku juga gak bisa terus-menerus beketergantungan hidup sama kamu, Sa. Aku cewek apa, ya? Dulu beketergantungan sama Ethan, sekarang malah sama kamu. Kayak gak ada mandiri-mandirinya."

Aksa menoleh ke gadis berambut panjang itu dan tersenyum tipis. "Kamu mandiri, Sa, dan aku akan selalu bangga sama kemandirian kamu."

Rissa menggeleng. "Enggak. Aku gak mandiri. Aku hidup numpang sama kamu, loh, Sa. Aku tinggal di apartemen kamu, makan dan senang-senang dari uang kamu. Aku kayak parasit, ya, di hidup kamu?"

Pemuda jangkung itu melangkah mendekat, berdiri di hadapan Rissa dan mengelus pipi gadis itu lembut. "Kamu tahu parasit itu apa? Saat salah satu pihak diuntungkan dan yang lain dirugikan. Gak ada satu pun kerugian yang kamu timbulkan buat aku. Kamu malah buat aku lebih semangat ngapa-ngapain. Kita saling menguntungkan, oke?"

"Tapi kalau soal uang, aku malah buat kamu rugi terus, Sa."

Aksa menggeleng. "Uang gak berarti apa pun, Rissa. Itu sesuatu yang masih bisa dicari dan ada di mana-mana. Tapi kamu? Cuma satu dan gak ada di mana-mana lagi." Tangan Aksa meraih tangan Rissa, "Udah, ya? Berhentiin pikiran berlebihan kamu dan istirahat. Kamu belum istirahat sama sekali karena ngurus Papa kamu."

"Aksa,"

Tangan Aksa yang hendak membuka pintu apartemennya membeku, bersamaan dengan tubuhnya begitu sesuatu yang lembab menyentuh pipinya. Secepat kilat, namun cukup membekas. Mata mereka bertemu dan Rissa tersenyum malu-malu.

"Makasih banyak untuk selalu jadi life saver aku, ya?"

Setelahnya, Rissa menyelak masuk terlebih dahulu ke apartemen sementara, Aksa masih membeku di posisinya. Sesaat kemudian, kesadarannya terkumpul dan dengan senyuman lebar, pemuda itu ikut masuk ke dalam apartemen untuk beristirahat.

ArasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang