13 Kue Pukis

1.2K 317 47
                                    

"Jadi, jenis pekerjaan yang dimaksud Andin itu adalah jadiin kamu seorang selebgram sehingga, setiap kamu ngepost foto, kamu dapat penghasilan?"

Rissa nyengir kuda mendengar kesimpulan yang Aksa dapat setelah Rissa bercerita panjang lebar tentang apa yang dilakukannya bersama dengan Andin hampir seharian, membuat Aksa menunggu dua jam di Starbucks dan hampir empat jam tertidur di mobil menunggu apa yang Rissa dan Andin lakukan selesai.

Tatapan Rissa beralih lagi menatap jalan kota Jakarta di hadapannya. "Tadinya, Andin kenalin aku ke Tante-nya yang kerja di agensi model gitu. Tapi aku gak mau jadi model yang terikat, apalagi dia bilang, sekali aku terikat aku harus ngelakuin apa yang ada di kontrak."

Aksa menghela napas. "Sejujurnya, aku kurang suka kamu jadi model, tapi selebgram who got money from endorsement is way better than a model who got money by selling their bodies."

"Jadi, diizinin, nih?" Rissa menatap Aksa dengan senang.

Aksa menoleh sekilas dan menyeringai. "Jadi, minta izin aku, nih, yang bukan pacar meski pun, udah memproklamirkan kalau kita pacaran sejak kemarin?"

Sesaat kemudian, cengiran Rissa lenyap. "Proklamirkan apa, sih? Kamu, mah, kemarin cuma bikin pernyataan sepihak, saat aku belum jawab apapun." Pipi Rissa bersemu, cewek itu menatap ke sisi kiri mobil sambil berkata pelan, "Dan harusnya gak kayak gitu kalau nembak cewek. Gak ada romantisnya sama sekali."

"Jadi, mau acara penembakan yang romantis? Udah pasti diterima gak? Kalau enggak, ah, buang-buang waktu, biaya dan tenaga."

"Ish."

Rissa mengalihkan perhatiannya ke sisi kiri kaca mobil, lanjut memperhatikan trotoar demi trotoar yang dilewati. Sebisa mungkin berusaha mengatasi debar jantung yang kembali tak menentu.

"Clarissa."

Rissa tidak menjawab meskipun, dia mendengar jelas Aksa memanggilnya. Laju mobil melambat dan Rissa masih mengalihkan perhatiannya, dia tidak mau menatap Aksa karena sungguh, pikirannya kosong saat matanya bertemu dengan mata cokelat Aksa. Mata yang indah. Pada awalnya, mata itu terasa dingin dan tajam menatap ke setiap sisi seperti elang, tapi lambat laun Rissa sadar. Mata cokelat Aksa malah meneduhkan, menenangkan pikiran.

"Pernah nyobain yang namanya kue pukis gak?"

Baiklah. Sepertinya Aksa juga sedang mencoba mengalihkan pembicaraan begitu sadar Rissa masih malu-malu kucing dengan pembahasan tentang pacar. Ah, tentu saja. Begitulah kalau harus berbincang pada seseorang yang berada dalam pengawasan orangtua secara penuh.

"Kue apa?"

Aksa terkekeh. "Pukis. P-U-K-I-S."

Akhirnya, Rissa menoleh dan menggeleng. "Belum. Emang ada?"

"Ya, Tuhan. Kamu udah berapa tahun lahir ke dunia? Kue pukis aja gak tahu!" Aksa berujar dengan tangan yang melepaskan sabuk pengaman. Cowok itu memang menepikan mobilnya di depan sebuah taman yang sepertinya ramai dengan mereka yang berolahraga sore.

Aksa nyengir. "Tunggu sebentar, ya? Aku beliin. Kamu sukanya keju atau cokelat atau kacang?"

"Kacang almond?"

Aksa memutar bola matanya. "Kue dengan kacang almond pasti gak dijual dipinggir jalan, pakai gerobak, Cintaku."

Rissa tertawa. "Iya, iya. Bercanda. Semua rasa aja, deh. Biar bisa coba, hehe."

Cowok jangkung itu mengangguk. "Oke, siap. Tunggu sebentar, ya."

Rissa mengangguk dan Aksa melangkah ke luar dari mobil. Dari dalam mobil, Rissa bisa melihat Aksa yang melangkah mendekati seorang pedagang dengan gerobak kecil yang sepertinya menjual kue pukis. Entah apa yang Aksa katakan, tapi tak lama kemudian sang pedagang memasukkan beberapa kue ke dalam sebuah kotak kue sebelum membungkus dengan plastik dan memberikan kepada Aksa, bertukar dengan yang lima puluh ribuan.

ArasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang