08 Kelab Malam

1.4K 316 33
                                    

Sepanjang perjalanan menuju kelas, Rissa menunduk mencoba menghindari tatap mata beberapa orang yang jelas cukup terkejut dengan pemandangan yang mereka tatap. Aksa mengantar Rissa ke ruangan kelasnya. Aksa memarkirkan mobil di halaman parkir gedung fakultas tempat Rissa belajar ketika fakultas teknik alias fakultas yang menaungi Aksa berada sekitar tiga gedung dari gedung fakultas Rissa atau singkatnya hampir lima ratus meter jauhnya.

"Udah sampai sini aja," Rissa berujar pelan begitu Aksa hendak memasuki ruang kelasnya, seperti ingin benar-benar memastikan Rissa duduk di kursinya dengan tenang dan damai tanpa gangguan.

Aksa menghentikan langkah dan membalikan tubuh. "Katanya mau aman? Ya, gue antar sampai lo duduk di kursi lo dan gue bakal cari guardian sementara selama lo ada di tempat yang berbeda dari gue."

Rissa menginjak bumi beberapa kali, bibirnya mengerucut. "Ish, bukan begitu!"

Satu alis Aksa terangkat. "Kenapa, sih? Kan, niatan gue baik. Gue mau memberi lo keamanan yang lo harapkan, mengantisipasi semua kejadian yang gak diinginkan."

"Tapi malu dilihatin banyak orang, Kak!"

"Biarin aja dilihatin. Gak usah dipeduliin. Iri mereka itu." Aksa memasukan satu tangannya ke dalam saku celana yang dia kenakan, matanya masih terkunci pada Rissa.

Rissa menggigit bibir bawahnya, bingung harus bagaimana menjelaskan. Aksa pasti sangat populer, bahkan di fakultas lain seperti fakultas ini. Rissa bisa merasakan banyak tatapan heran sekaligus memuja yang ditujukan untuk cowok jangkung yang tengah bersiap-siap untuk menyusun skripsi tersebut.

"Aduh!"

Rissa meringis saat merasakan cubitan lembut di pipinya yang dilakukan oleh Aksa yang kini terkekeh geli. Tanpa membiarkan Rissa memprotes, Aksa sudah menarik tangan Rissa memasuki ruangan kelas yang akan Rissa ikuti. Duh, malu rasanya. Rissa tak berani mengangkat wajahnya yang mungkin memerah.

"Ndin, gue titip ini anak satu, ya!"

Saat Aksa berkata demikian, barulah Rissa mengangkat wajah dan mendapati dirinya yang berdiri di dekat kursi Andin biasa duduk. Kursi Rissa masih kosong, berada di sebelah kanan Andin.

"Anjir, Ris! Lo ke mana aja dari kemaren? Gue teleponin gak diangkat, SMS gak dibales!" Andin menatap tajam Rissa, penuh protes.

Aksa menghela napas. "Jangan ikut marahin lo! Yang boleh marahin dia itu cuma gue!"

Tatapan Andin beralih kepada Aksa. "Alah, emang udah official, Kak? Elah." Andin menggoda, berkacak pinggang dan Aksa membalas dengan seringaian.

"Sabar itu kunci segalanya, Andin."

Sungguh, Rissa tidak mengerti apa yang Aksa dan Andin bicarakan. Mereka terlihat lebih dekat daripada sebelumnya. Apa saja yang sudah Rissa lewatkan? Sepertinya tidak sampai tiga hari dan sekarang, Andin dan Aksa berbicara selayaknya sahabat karib.

Andin terkekeh. "Iya aja, dah, gue. By the way, titip salam buat Kak Norman sayang, ya, Kak Aksa ganteng." Andin mengedipkan mata berulang kali, Aksa memutar bola matanya.

"Kan, gue udah kasih tahu kalau si Norman udah punya pacar. Lima tahun pacaran."

"Baru lima tahun! Yang belasan tahun aja bisa pu—,"

"Apa yang kamu lakukan di sini, Aksara?"

Ucapan Andin terpotong berikut dengan perhatiannya, Aksa dan Rissa yang beralih ke sumber suara yang adalah dosen pengajar kelas ini. Rissa buru-buru duduk, begitupun dengan Andin dan mahasiswa-mahasiswa lain yang sudah berada di kelas. Dosen mata kuliah umum, Bahasa Indonesia. Namanya Bu Mirna, wanita yang lima tahun lagi memasuki usia pensiun.

ArasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang