10. two-sided life

121 23 11
                                    

"Terkadang manusia lupa bahwa hidup itu memiliki dua sisi. Ada baik dan juga buruk. Ada bahagia dan juga sedih. Setiap merasakan salah satunya, kita akan lupa dengan hal yang satunya"
.
.
.
.
.
~~~He Teaches About Life~~~

•○●HAPPY READING●○•


Malam itu, Satya masuk kedalam kamarnya. Kamar yang dulu mungkin menjadi tempat satu-satunya ia menemukan cahaya yang sulit ia dapatkan. Sejak sepeninggalnya Serim dua tahun lalu, pria itu merasa cahaya yang dulu sering menetap dikamar ini sekarang seperti menghilang perlahan-lahan. Entah kenapa, cahaya itu seperti ikut bersedih, merasakan kehilangan sang objek yang dulu sering ia terangi.

Satya melangkah mendekati jendela, membuka jendela kamar itu lebar-lebar, menampakan langit malam yang rasanya tak seindah dulu. Kemudian ia berahli pada sebuah lukisan yang terpajang didinding.

Satya masi ingat bagaimana dulu ia sering melihat Serim melukis disudut ruang kamar. Kala itu, Satya duduk disamping jendela, dengan earphon yang menyumbat telinganya. Disampingnya, Serim duduk dengan tangan yang bergerak indah dikertas lukisan yang ada didepannya.

Satya heran, mengapa kakak tirinya itu sangat suka melukis dimalam hari, padahal kamar kecil mereka tidak terlalu terang, hanya dibantu oleh cahaya bulan yang sering memancar dari jendela kamar yang dibuka satya lebar-lebar, menjadikan tempat paling cocok untuk ia menikmati langit malam.

Penerangan yang kurang itu tidak membuat Serim berhenti melukis. Pria itu mengatakan kalau bulan yang sangat terang disana, sering meneranginya dalam kegelapan, membantunya menyelasaikan kegiatannya sekarang.

"Kak, sakit ya?"

Sebenarnya, dilihat dari tubuh Serim yang penuh luka karena Ayahnya, tanpa ditanya pun Satya bisa tahu kalau itu sangat sakit. Tapi yang ditanyakan Satya bukan luka fisik yang menghiasi tubuh Serim saat ini. Tapi luka batin, yang mungkin membuat hati Serim tersayat oleh pedang yang tak kasat mata. Meski tak kasat mata, tapi Satya bisa merasakan sesakit apa kakaknya sekarang. Walaupun begitu, Satya tetap bertanya, bermaksut agar kakaknya tidak menyimpan kesakitan itu sendirian.

"Sebelumnya sakit Sat, tapi saat ini nggak, sekarang kakak baik-baik aja"

Dengan senyum tipis, tanpa mengalihkan pandangannya dari lukisan Serim berucap.

Senyuman yang mungkin bisa menipu sebagian orang, tapi tidak dengan Satya.

"Kakak pernah ngerasa kalau hidup itu berat nggak?"

Satya bertanya, memperhatikan lukisan sang kakak yang belum sepenuhnya selesai.

"Lo pernah?"

Bukannya menjawab, Serim melontarkan kembali pertanyaan itu padanya.

"Sering kak, bahkan satya ngerasa hidup yang kita jalani saat ini berat"

Satya mengalihkan pandangannya pada bulan. Bulan yang selalu disukai Serim. Satya terkadang bertanya-tanya, mengapa kakak tirinya itu sangat suka dengan bulan.

"Kenapa lo ngerasa gitu?"

"Rasanya setiap hari kita selalu dihujani banyak masalah kak. Mulai dari ekonomi yang menipis, sampai kelakuan Ayah yang mabuk-mabukan, mungkin yang paling sakit disini itu kakak, karna ka serim yang selalu dituntut Ayah, kak serim yang sering dipukulin Ayah, bahkan disekolah, kakak nggak dapat teman, tapi sakit yang kakak rasain itu, bisa Satya rasain kak"

Mendengar kalimat itu, Serim tersenyum, ia menatap punggung Satya yang sedang menatap bulan.

"Sat, hidup itu nggak selamanya buruk dan nggak selamanya baik, bumi itu berpudar, begitu juga dengan kehidupan yang selalu berganti, dia tidak akan menetap disatu titik"

he teaches about life [Cravity]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang