• bonus •

679 109 11
                                    

Bian menutupi sebagian badannya dengan selimut, tangannya sibuk mematikan laptop. Membiarkan sahabatnya, kakak kelasnya, yang juga pacar Arjuna, Seka, terkagum-kagum dengan ceritanya sebelum berpacaran dengan Tama.

"Kamu gak ngarang kan Yan?" tanya Seka heran.

Bian mendengus, "Gila kali aku ngarang gituan, alay anjir,"

Gemas, Seka menggoyang-goyangkan tubuh Bian di sampingnya, "Tapi romantis banget sumpah, kek... kek sinetron,"

"Aduuh kak!" seru Bian kesal, sedangkan yang dipanggil hanya terkekeh pelan.

Saat ini, Bian sedang ada di rumah Seka, niatnya awalnya sih untuk nobar maraton konten tubatu karena besok adalah hari minggu, tapi karena suatu hal, mereka jadi membahas hubungan Seka dengan Arjuna.

Kemudian Bian tiba-tiba menawari Seka untuk diceritakan bagaimana dia dan Tama bisa berpacaran setelah Seka bertanya bagaimana hubungan Bian dengan Tama saat ini.

Tentu saja Seka mengiyakan dengan senang hati.

Karena itulah, selama hampir dua jam, Bian menceritakan kisah cintanya yang kata Seka seperti sinetron itu tanpa henti, Seka pun dengan serius mendengarkan apa saja yang keluar dari bibir Bian.

Beberapa makanan ringan yang mereka beli sudah habis tak tersisa, untungnya sekarang Seka sudah punya tempat sampah khusus di kamarnya, sehingga sampah plastik bekas jajanan tidak lagi berserakan di bawah tempat tidurnya.

Sekarang sudah hampir tengah malam, cerita Bian sudah selesai dan mereka sedang bersiap untuk tidur.

Tapi Seka sepertinya masih kagum dengan cerita cinta Bian sehingga dia terus menganggu Bian dengan segala pertanyaan menyangkut TamaBian. Membuat Bian mau tak mau bangkit dari posisi rebahannya ke posisi duduk, menghadap Seka.

"Lah pas kamu ditembak, kan kafe nya nggak begitu sepi, ada orang berarti? Terus gimana?"

Bian mengangguk pelan, "Iya, ya gak gimana-gimana, gak ngerti seh, aku gak perhatiin mereka,"

"Balon yang dikasih Tama masih ada?" tanya Seka.

Bian menggeleng, "Meletup,"

Seka seketika kecewa, bibirnya dia turunkan, "Yaah, sayang banget,"

"Tama sendiri itu yang ngeletusin,"

"Sumpah? Kok bisa?"

Bian mengangguk pelan, "Iya, pas main ke rumah dia nginjek tali balonnya, terus jatoh, kegencet badannya, meletus lah,"

Mendengar itu, Seka tak kuasa menahan tawa, bahkan dia sampai mendorong badan Bian ke samping, "Kocak anjir, bisa-bisanya,"

"Heh uwes uwes, udah malem jangan ketawa kenceng-kenceng!" omel Bian.

"Maaf maaf, berarti kamu sama Tama udah... dua tahun?" tebak Seka.

Bian terdiam sejenak, bibirnya dia tutup rapat-rapat. Setelah beberapa saat, dia mengangguk pelan, "Iya, dua hari yang lalu kita dua tahun, harus e,"

Melihat sikap Bian yang tiba-tiba terdiam, Seka menekuk wajahnya, dahinya dikerutkan, alisnya menyatu. Tangannya terulur meraih pundak Bian, membuat Bian mau tak mau mendongakkan kepala, menatap Seka.

"Kenapa kamu? Kok malah sedih?" tanya Seka.

Bian tertawa, "Enggak, sedih kenapa emang e?"

"Heh, emang e aku bodoh? Semut lewat juga langsung paham nek kamu sedih, ayo cerita, kenapa?"

Bian mengigit bibir bawahnya, kemudian menggeleng pelan, "Gak papa,"

"Bian Gautama gak usah sok misterius ya anjing, cepet kasih tau aku kenapa? Sedih kenapa kamu? Gara-gara Tama? Habis cerita itu kok langsung lesu? Dia ngapain kamu?" tanya Seka memaksa.

Reminiscence [Taegyu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang