Takdir Kedelapan

500 28 6
                                    

Tiga hari sudah berlalu sejak kejadian di mall. Aku masih mengurung diri di kamar. Dan dia ... masih tak membalas pesanku. Mungkin enggan, merasa bersalah, atau malah tak peduli lagi. Jelas-jelas sudah ada gadis lain yang membuatnya tak bisa berpaling barang sedetik pun. Seperti yang kulihat waktu itu. Tapi aku masih berharap padanya.

Sebut aku bodoh atau buta. Tapi rasa sayangku padanya lebih besar daripada luka yang kurasa. Meski sakitnya masih terasa sampai sekarang. Tapi apa daya jika hatiku terus merindunya?

Mama masuk membawa semangkuk bubur panas dan susu hangat, memaksaku makan. Ia terlihat sangat khawatir saat mendapatiku demam tinggi di pagi hari, 2 hari yang lalu. Tepat setelah malamnya aku pulang sambil menangis. Hari itu juga Mama melarangku untuk masuk sekolah dulu. Menunggu aku sembuh saja katanya. Dan sekarang aku merasa sudah lebih baik. Meski begitu, Mama tetap memaksaku makan bubur.

Berulang kali Mama bertanya aku kenapa. Dan aku menolak menjawab sebanyak ia bertanya. Aku enggan bercerita kalau hatiku patah saat melihat pemuda yang kusukai "berkencan" dengan gadis lain. Ya, mungkin tak secara sengaja. Tapi yang jelas, gadis itu yang membuat kak Aaro meninggalkanku.

Aku kembali berpikir. Bagaimana bisa gadis yang menurut kak Aaro tak ia kenal bisa begitu berpengaruh? Apa istimewanya dia? Sementara aku yang sudah lama dengannya, tak mendapat perhatiannya sama sekali. Berbulan-bulan aku mencoba membuat kesan yang baik agak ia tertarik, tapi aku tak pernah mendapat tatapan memuja seperti yang ia beri untuk gadis itu.

Mungkin saja aku nyaris mendapatkan Kak Aaro. Membuatnya merasakan perasaan yang sama seperti yang kurasa. Perhatian dan nasehatnya untukku, kuanggap sebagai bentuk kasih sayangnya padaku. Semua keadaan baik-baik saja. Hingga tiba-tiba gadis tak diundang itu datang menghancurkan segalanya. Memutus benang merah yang terjalin antara aku dan Kak Aaro, tanpa perasaan bersalah.

Kemarin, dalam perenungan, aku sempat memilih untuk menyerah saja. Membiarkannya menjauh, pergi bersama gadis asing itu. Mengibarkan bendera putih dan melupakan pemuda impianku. Tapi kemudian aku berpikir lagi. Kalau aku menyerah sekarang, lalu perjuanganku kemarin hanya kesia-siaan saja. Sudah melangkah sejauh ini, tapi aku menyerah. Membiarkannya dengan gadis lain. Gadis perebut yang tak tahu diri.

Aku yang lebih dulu mengenal kak Aaro. Aku yang lebih dulu mengisi hatinya. Takkan kubiarkan gadis asing itu merebut Kak Aaro begitu saja. Bukan dia yang seharusnya berada di sisi pemuda itu. Tapi aku. Aku yang seharusnya ada di sisi Kak Aaro. Bukan gadis yang baru dikenalnya.

Dan dengan tekad yang baru, kuyakinkan hati. Aku harus mendapatkan lagi perhatian Kak Aaro.

=====

Bel istirahat berbunyi. Guru di depanku mengakhiri penjelasannya tentang rumus-rumus matematika yang menyebalkan. Yang membuatku sama sekali tak ingin memperhatikan. Sebenarnya memang tak ada niat untuk memperhatikan.

Sejak tadi pagi, tak ada satu pun pelajaran yanh bisa diserap oleh otakku. Tak ada satu pun guru yang kudengarkan. Pikiranku hanya padanya, Kak Aaro.

Kuputuskan untuk mengirimi ia pesan di whatsapp. Setelah hampir seminggu tak ada kabar darinya.

"Hai, Kak. Apa kabar?"

Tanda pesan terkirim jelas tertulis di sana. Tinggal menunggu respon darinya. Kulihat tanda sudah dibaca beberapa detik kemudian. Lalu tak lama, ada balasan darinya.

"Hai, Ra. Aku baik. Kamu apa kabar?"

Aku tersenyum. Bahkan hatiku nyaris melonjak saking senangnya. Meski belum tahu bagaimana nantinya, tapi Kak Aaro sudah mau membalas.

"Baik juga, Kak. Ke mana aja?"

To the point. Aku memang sudh malas berbasa-basi. Belajar dari kejadian kemarin. Mungkin memang lebih baik kalau aku menyerang daripada terus menerus bertahan. Atau aku takkan dapat apa-apa.

Kali ini butuh waktu lama untuk menunggu balasan dari Kak Aaro. Entah dia mau atau tidak membalas pesan, menjawab pertanyaanku.

Waktu terasa begitu lama berjalan. Harapanku nyaris terhempas jika saja ponsel dalam genggaman tangan tak berbunyi lagi. Kak Aaro. Senyumku pun kembali.

"Ada kok, Ra. Lagi sibuk kuliah. Oh iya, maaf minggu lalu aku gak jadi nyusulin kamu. Di toilet ketemu temen lama. Jadinya aku keasyikan ngobrol sama dia."

Dadaku tiba-tiba nyeri. Teman lama katanya. Kak Aaro memang tak tahu kalau aku ada di sana memperhatikannya sedang berduaan dengan gadis asing itu. Tapi ... bukan alasan untuk berbohong, bukan?

Amarah kembali menguasai. Keinginanku untuk memiliki Kak Aaro makin besar. Aku terlalu curiga akan apa yng telah diperbuat gadis itu pada Kak Aaro-ku. Mungkinkah gaids ini merayunya tanpa tahu malu?

"Iya, gak apa-apa, Kak. Bisa ketemu gak, Kak? Butuh temen ngobrol."

Kukirim pesan balasan padanya. Sangat berharap ia mau bertemu denganku.

Aku menunggu dengan harap-harap cemas. Rasa lapar yang mendera tadi kulupakan seketika. Dalam otakku hanya ada dia kini. Kak Aaro dan Kak Aaro saja.

Satu menit berlalu. Lalu menit kemudian, masih tak ada jawaban. Sampai 5 menit, ia belum juga membalas. Tapi tanda pesan sudah dibaca membuatku makin tak sabar. Apa dia mau menghindariku lagi? Membuat jarak makin lebar di antara kami?

Di tengah rasa gelisah, pesan darinya masuk. Meleburkan rasa kesal dan amarah yang mendera saat membaca jawabannya.

"Oke, Ra. Mau kapan? Di mana?"

Mungkin kalau aku tak ingat sedang berada di ruangan bernama kelas, aku sudah melonjak-lonjak saking senangnya. Kubalas dengan bersemangat.

"Kafe biasa, ya. Hari ini jam 4 sore."

Kak Aaro mengiyakan. Tepat ketika bel masuk kembali berbunyi. Chat kami berakhir setelah sepakat bertemu. Lihat saja, Gadis Asing. Aku akan merebutnya kembali darimu.

=Tiara=

FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang