Takdir Kedua

1.3K 43 7
                                    

Tiara POV

Aku sedang jatuh cinta. Pada dia, cowok yang akhir-akhir ini dekat denganku. Usianya hampir sama dengan kakakku, 22 tahun. Kami kenal karena kakakku berteman dengan teman baik kak Aaro.

Aku menyukainya. Segala tentang kak Aaro. Senyumnya, tawanya, lesung pipitnya, matanya, wanginya. Ah, tak akan habis aku sebutkan karena semua yang ada padanya membuatku jatuh hati. Ia cowok pertama yang membuatku merasa disayang. Di luar keluargaku tentunya.

Kak Aaro sangat pintar memainkan gitarnya. Suaranya juga sangat bagus. Salah satu yang membuatku sangat menyukainya. Aku sering melihatnya latihan band bersama teman-temannya. Dan ia sangat keren.

Ia selalu bisa menenangkanku. Contohnya saja tadi. Kak Aaro tahu cara bagaimana membuatku menghilangkan kesal dan berpikir positif. Seakan ia memang diciptakan Tuhan untuk itu.

"Sampai," kata kak Aaro seiring berhentinya motor yang ia kendarai di depan rumahku.

Aku turun perlahan dari motor kak Aaro. Lalu membuka dan menyerahkan helm padanya. "Makasih ya, Kak, udah nganterin."

Ia tersenyum. Senyum yang selalu menjadi favoritku. Kak Aaro menerima helm yang kuberikan dan mengaitkannya di lengan.

"Iya, sama-sama. Masuk sana! Udara malem gak bagus buat kamu," kata kak Aaro dari balik helm yang dipakainya.

"Kak Aaro gak mau masuk dulu?" tanyaku. Berharap ia mau mampir dahulu ke rumah.

"Enggak deh, Ra. Aku ada urusan," jawabnya.

Jujur, aku sedikit kecewa. Tapi mau bagaimana lagi. Masa iya aku paksa kak Aaro masuk ke rumahku? Jelas-jelas itu tak mungkin.

Alih-alih marah, aku tersenyum padanya. Memberikan senyuman termanisku untuknya. "Oh. Kalo gitu hati-hati di jalan ya, Kak."

Ia mengangguk seraya mengacungkan jempolnya. Lalu menyalakan motor dan melesat di jalanan setelah melambaikan tangannya padaku.

Selanjutnya aku melangkah gontai masuk ke rumah. Setelah diintrogasi sebentar oleh papa, aku langsung menuju kamar. Menjatuhkan tubuh di atas lembutnya kasur.

Pikiranku kembali melayang pada kejadian beberapa bulan lalu saat pertama kami bertemu. Ia sudah menarik perhatianku di awal pertemuan itu. Kak Aaro begitu ramah dan membuatku tak segan untuk mengobrol dengannya. Padahal aku adalah tipe orang yang tak mudah bersosialisasi, apalagi itu adalah pertama kalinya kami bertatap muka.

Ia membuatku nyaman sekaligus merasa aman. Itu pula yang membuatku makin sering bercerita padanya. Kak Aaro selalu menasehati tanpa ada kesan menggurui sama sekali. Makanya aku, yang kata orang-orang di sekitarku keras kepala, bisa dengan mudah mencerna dan menuruti semua nasihatnya.

Dari  sana pula aku mulai menaruh perhatian lebih padanya. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam dadaku saat berdekatan dengannya. Jantungku berdebar-debar, berdetak lebih gila dari biasanya, darahku berdesir saat tatapan mata kami bertemu. Ia, tak lagi kuanggap sebagai seorang kakak yang selalu menasehati adiknya. Tapi aku memandangnya lebih dari itu. Aku melihat, merasa dan berharap ia adalah anugerah terindah yang Tuhan kirim untukku. Aku mau ia lebih dari sekedar teman, sahabat ataupun abang.

Aku tersenyum sendiri saat membayangkan lagi wajahnya. Sudah seperti orang gila saja. Ya, aku memang gila. Tergila-gila padanya, pada kak Aaro. Dan tiba-tiba saja aku memikirkan sesuatu yang tak pernah terlintas dalam otakku sebelumnya. Apa kak Aaro juga menyukaiku seperti apa yang kurasakan?

Aku benar-benar tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Terlalu larut dalam perasaan yang kurasakan. Terlalu bersemangat setiap kali kami akan bertemu. Juga terlalu senang setiap ia menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Mengesampingkan kemungkinan kalau ia hanya menganggapku tak lebih dari seorang adik. Tapi apa iya, ia akan segitu perhatian padaku kalau tak ada perasaan lebih di hatinya?

Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Apa sih yang kupikirkan dari tadi? Kenapa hanya kak Aaro yang ada dalam pikiranku? Ish! Sepertinya aku memang sudah sangat dalam terperangkap dalam pesona kak Aaro. Lebih baik aku mandi saja.

=====

Kuedarkan pandanganku ke sekeliling toko buku. Mana dia? Katanya kak Aaro mau menemuiku di sini. Tapi kenapa lama sekali?

Mataku terus mencari-cari. Hingga akhirnya kutemukan ia berdiri di deretan komik-komik. Kak Aaro, yang terlihat tampan dengan kaos dan kemeja kotak-kotak yang dikenakannya, juga berkeliling mencari-cari sepertiku. Dan menurutku ia lebih tampan lagi dengan topi yang dipakainya. Ya Tuhan, ciptaan-Mu ini benar-benar nyaris sempurna.

“Kak Aaro!” seruku seraya berjalan menghampirinya. Ia menoleh dan melemparkan senyumnya yang membuatku nyaris meleleh di tengah udara dingin. Membuatku ingin berlari dan memeluknya. Tapi untungnya aku masih berpikiran waras untuk tak melakukan hal itu di tengah umum.

Mataku masih tak lepas dari sosoknya. Seakan takut ia menghilang jika aku lengah sedikit saja. Beberapa langkah lagi aku hampir mencapai kak Aaro, namun seorang gadis menabrakku. Buku yang kami bawa masing-masing terlempar dan jatuh ke lantai.

“Aaw!” jeritku saat tubuh kurusnya menabrak bahuku. Aku mendongak melihatnya. Wajahnya terlihat datar-datar saja meski samar-samar kudengar ringisannya tadi.

Gadis itu terlihat lebih tua dariku. Memakai jeans, kaos putih dan kemeja yang sama sekali tak dikancingkan di luarnya. Rambutnya diikat ke belakang. Tak terlihat rapi sedikit pun. Jauh sekali dari kata feminin.

“Pake mata, dong, kalo jalan,” ujarku ketus saat melihatnya ngeloyor untuk memungut bukunya tanpa meminta maaf terlebih dahulu.

“Kayaknya tadi kamu, deh, yang gak hati-hati jalannya.” Dengan wajah yang masih datar, ia membalas ucapanku. Gadis menyebalkan itu kembali berbalik membelakangiku.

“Jelas-jelas tadi lu yang nabrak gue,” kataku kesal. Enak saja ia menuduhku.

Sebelum berhasil memungut buku yang dibawanya, ia berbalik lagi. Berjalan pelan ke arahku dan memandangku dengan tatapan tajamnya. Aku sedikit merinding melihat sorot matanya yang seolah mengintimidasiku.

“Jaga omongan kamu, Nona. Waktu jalan tadi, mata kamu cuma fokus pada satu titik. Itu yang bikin kamu nabrak orang, yang kebetulan adalah saya, sembarangan. Dan sekarang kamu nyalahin orang yang kamu tabrak. Egois sekali.” Ia berkata sinis dengan lirikan yang membuatku bergidik ngeri.

“Maafin temen saya,” kata kak Aaro yang muncul tiba-tiba dari belakang gadis tomboi di hadapanku.

“Apaan, sih, Kak?” tanyaku tak suka. Ini bukan salahku, kok.

Kak Aaro memberiku isyarat untuk diam. Aku pun menurut saja. Tapi aku tak suka disalahkan. Ayolah, Kak. Jangan mengalah padanya. Dan aku salah kalau mengira kak Aaro akan membelaku.

“Sekali lagi maaf, ya.” Gadis itu mengangkat bahunya tak peduli lalu memungut bukunya yang jatuh dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun.

"Ish! Kak Aaro kok biarin dia pergi gitu aja, sih? Pake minta maaf segala lagi. Kan dia yang salah, Kak." Aku cemberut. Bisa-bisanya kak Aaro membiarkannya begitu saja.

Tapi kak Aaro diam saja. Tak biasanya tidak memperhatikanku. Aku menoleh untuk melihatnya, namun sepertinya kak Aaro sedang fokus pada hal lain di depannya. Kuikuti arah pandangnya dan menemukan apa yang ia perhatikan. Gadis tomboi menyebalkan yang menabrakku tadi.

===

Sekedar info aja, baik saya maupun @Fe_RyRows membuat dua buah cerita (Fate & Connected) dengan karakter yang sama yaitu Aaro, Tiara dan Feyta. Tapi jalan cerita kami berdua benar-benar berbeda. Untuk membaca cerita teman saya yang berjudul

"Connected", silakan klik link di bawah.

http://www.wattpad.com/32103477-connected

FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang