Takdir Kesembilan

413 26 4
                                    

Feyta POV

Suasana kafe siang ini tak begitu riuh layaknya akhir pekan saat kumasuki. Seperti biasa, aku akan memilih sudut yang agak tersembunyi itu untuk duduk.

Kuhempaskan tubuh ke atas sofa yang nyaman, lalu memesan secangkir cappucinno panas. Pelayan kafe yang tahu betul kopi favoritku sedikit mengernyit. Mungkin tak menyangka kalau aku akan memesan sesuatu yang manis.

Sembari menunggu, kumainkan ponsel pintar dalam genggaman. Ya, aku sedang menunggunya. Aaro. Ini kali kedua aku membuat janji dengannya. Setelah sabtu sore pekan lalu.

Secangkir cappucinno panas dengan uap yang mengepul tiba di hadapanku setelah beberapa menit menunggu. Aku tersenyum tipis melihatnya. Entah bagaimana caranya, hal sekecil ini bisa menarik perhatianku. Dimulai dengan adanya Aaro di hidupku akhir-akhir ini.

Tentu sangat tak masuk akal jika aku langsung jatuh hati padanya. Akan selalu ada proses untukku berurusan dengan hal itu. Hanya saja, belakangan ini aku menyadari kalau Aaro menerimaku apa adanya -sebagai teman. Awal bertemu, ia tak melihatku dengan tatapan aneh yang sering dilemparkan orang-orang padaku.

Kuhirup aroma kopi dan susu yang tercampur dengan baik dalam cangkir yang kupegang. Aromanya menenangkan. Melepas sedikit demi sedikit hal-hal yang memenuhi pikiran. Juga penat yang bersarang dalam tubuh.

Akhirnya Aaro datang dengan sedikit terpogoh-pogoh. Ia terlihat lebih 'keren' dari biasanya. Entah pengaruh dari jaket yang ia kenakan atau memang auranya seperti itu sekarang.

"Fey...."

"On time," selaku seraya menunjuk jam tangan yang memang menunjukkan pukul 12 tepat. Waktu yang kami janjikan.

"Syukurlah," ujarnya seraya menjatuhkan tubuh ke atas sofa di sampingku. "Aku kira telat."

"Kenapa emang?" tanyaku. Merasa harus bertanya meski tak terlalu peduli.

"Tadi sempet kejebak macet. Untung gak lama," jawabnya masih dengan napas yang terputus-putus.

Aku mengangguk mengerti. Lalu kembali menyesap cappucinno yang tinggal setengah. Kuperhatikan Aaro yang yang kini tengah memanggil seorang pelayan. Menyebutkan pesanan yang sama seperti isi cangkirku. Ia tersenyum padaku setelah si pelatan berlalu. Dan kubalas dengan satu senyuman kecil.

Satu hal yang kutahu dari Aaro setelah beberapa kali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon dengannya adalah Aaro merupakan pribadi yang sangat baik. Dan hal itu berlaku pada siapa pun. Dia tipe orang yang suka menebar senyum, bukan pesona. Namun aku takkan heran jika akan banyak gadis yang dibuatnya terlena.

"Fey?"

Lamunanku pecah. Kupandang Aaro yang tengah menatapku. "Ya?"

"Akhir minggu ini nonton, yuk!" ajak Aaro. Wajahnya begitu sumringah. Membuatku berpikir kembali sebelum menolaknya mentah-mentah.

"Em ... nonton apa?"

"Kamu sukanya apa?"

Aku sebenarnya tak suka, Aaro.

"Terserah," jawabku akhirnya.

"Kalo gitu, sabtu sore ya, Fey."

Aku mengangguk setuju. Dan ketika senyum Aaro mengembang, perlahan aku sadar kalau aku mulai menyukai senyumannya.

Sebenarnya menonton bukanlah hobiku. Atau sekedar hal iseng yang akan kulakukan saat bosan. Tapi, entah demi Aaro atau bukan, aku tak berniat menolak permintaannya. Hanya merasa tak enak kalau tak kuiyakan. Padahal aku bukan tipe orang yang tak enakan pada orang lain. Apalagi jelas-jelas aku tak menyukai apa yang ditawarkannya.

Kami terdiam kembali. Aaro sedang sibuk dengan ponsel pintarnya, sementara aku mulai sibuk dengan pikiranku sendiri. Ada hal-hal kecil yang memenuhi kepalaku sejak tadi pagi. Salah satunya, Aaro.

Jika sudah memikirkan Aaro, rasa-rasanya dunia berhenti berputar. Aku lupa daratan, lupa waktu. Fokusku hanya tertuju pada telaah-telaah yang kuhasilkan sewaktu memikirkan dia. Aaro lagi.

Siapa yang tidak heran jika berada di posisiku saat ini? Orang yang biasanya selalu dilirik sinis padahal tidak ada hal yang aneh dalam dirinya, tiba-tiba bertemu dengan orang yang mau menerima apa adanya.

Seharusnya, saat ini aku sudah sadar akan hal itu.

Tapi saat memikirkannya pula, tak luput ada sesuatu yang mengusikku. Tiara, gadis yang selalu bersamanya. Memang baru 2 kali aku melihatnya. Dan sekali berinteraksi langsung dengan gadis itu. Tapi aku bisa tahu dari sorot matanya, jika ia begitu memuja Aaro.

Mungkin pemuda polos di sampingku ini tak menyadari jika gadis -temannya- itu menaruh rasa lebih padanya. Atau ... ia justru hanya pura-pura tak mengetahui?

Entahlah. Jelas bukan urusanku. Aaro tahu, atau hanya pura-pura bodoh. Gadis itu sebenarnya cukup memperlihatkan keinginannya akan perhatian lebih dari Aaro.

"Lagi apa?" tanyaku iseng. Ada rasa penasaran juga saat melihat ia sibuk sendiri dengan benda tipis berukuran 5 inci di tangannya.

Aaro mendongak. Mengalihkan semua perhatian padaku. Ia tersenyum manis sekali. Sangat khas Aaro. Tenang, ramah.

"Chatting," jawabnya. "Tiara nge-chat aku tadi."

Mengapa jawaban itu keluar ketika aku sedang memikirkannya? Kebetulan sekali. Sebenarnya, rasa penasaranku makin bertambah ketika nama itu disebut. Tapi rasanya tidak etis jika aku bertanya lebih.

"Fey."

Kulihat pemuda di sampingku meletakkan ponselnya di atas meja. Lalu memfokuskan diri sepenuhnya padaku.

"Gak pesen makan sekalian? Udah waktunya makan siang, lho."

Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Memang sudah waktunya makan siang. Kuanggukkan kepala dan membiarkan Aaro memanggil seorang pelayan.

=====

Kuparkir motor kesayangan dengan sembarang di garasi begitu sampai rumah. Terik mentari di luar sana begitu membakar. Hingga sanggup menggigit kulit, menembus jaket yang kupakai.

Kesunyian yang teramat akrab denganku menyambut. Sangat khas suasana rumah yang selalu kutempati, di mana pun itu. Empuknya sofa ruang tengah terasa menggoda. Sayang jika kulewatkan begitu saja.

Setelah terlebih dahulu mengambil segelas air dari lemari pendingin, aku kembali ke ruang tengah. Melepas penat yang kudapat dari jalanan tadi.

Tiara.

Nama itu kembali mengingatkanku akan kebetulan yang tak sengaja kutemui saat masih bersama Aaro. Rasanya ganjil saat mendapati nama itu terucap darinya. Seganjil mengecap rasa pedas sewaktu memakan coklat, bahkan saat tahu jika coklat itu mengandung cabai.

Mengapa nama Tiara muncul di saat aku sedang bersama pemuda itu?

Pertanyaan itu menyentakkan kesadaranku. Apa-apaan aku ini? Aku terdengar seperti seorang gadis ingusan yang cemburu saat orang yang disukai, dekat dengan orang lain. Menggelikan, batinku sebal pada diri sendiri sembari menyesap air mineral dingin yang sudah kuambil.

Hak Aaro kalau ia mengobrol dengan Tiara. Gadis itu temannya. Dan aku pun hanya temannya. Tak berhak melarang ia berkomunikasi dalam bentuk apa pun, dengan siapa pun.

Aku menggeleng keras-keras. Sejak kapan aku mulai peduli akan hal-hal menyangkut orang lain seperti itu? Rasanya baru kali ini aku mengenal seseorang dan peduli terlalu jauh pada kehidupan, bahkan orang-orang di sekitarnya.

Namun hingga akhirnya aku melenggang masuk ke kamar, Aaro masih jadi satu-satunya yang betah dalam pikiran.

=Feyta=

FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang