Aaro POV
Tring ....
Kuambil ponselku yang berbunyi. Ada satu pesan masuk di aplikasi messenger-ku. Dari Tiara. Gadis yang beberapa bulan ini sering chatting denganku. Aku mengenalnya dari temanku yang berteman baik dengan kakaknya. Ia baik, enerjik, ceria, sopan dan cantik.
'Kak Aaro ada acara enggak, hari ini?'
Jika Tiara bertanya begini, pasti ia ingin kami bertemu. Kuketikkan beberapa kata untuk membalas pesannya.
'Gak ada, sih. Emang kenapa, Ra?'
Aku tersenyum membayangkannya. Tiara mengingatkan pada adik perempuanku yang sama cerewetnya. Tak berapa lama, ia membalas lagi chat-ku.
'Ketemu, yuk! Di kafe biasa sore ini.'
Benar kan kataku. Okelah. Tak ada ruginya bertemu Tiara. Lagipula aku sedang tak ada acara sore ini. Kuiyakan saja ajakannya.
Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di hadapan abege yang memasang wajah cemberut. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Tapi aku tak akan heran jika itu hanya masalah kecil. Karena Tiara adalah tipe gadis remaja yang suka membesarkan masalah.
"Jadi, kamu kenapa?" tanyaku. Tak penasaran, juga tidak bersikap tak acuh.
"Aku lagi sebel, Kak." Ia memulai cerita dengan kekesalan yang sangat kentara. "Kakakku lagi liburan ke Bali. Tapi masa aku gak diajak. Itu kan Bali, Kak. BALI. Nyebelin, kan?"
Tiara mengomel seperti biasa jika ia sedang kesal. Dari A sampai Z. Sepertinya semua kelesalannya ia tumpahkan saat ini juga. Di hadapanku. Aku ulangi, DI HADAPANKU.
Aku menghela napas. Dia bisa sangat menyenangkan dan juga menyebalkan. Sifatnya yang manja, keras kepala dan tak mau kalah masih mendominasi. Maklum saja, ia masih duduk di bangku SMA. Meski sebentar lagi lulus. Tapi tetap saja, pola berpikirnya masih sangat-sangat kekanakkan. Jika ia mau A, ia harus dapat A, tidak boleh B. Bagus sih untuk beberapa hal.
"Kan bentar lagi kamu ujian, Ra. Udah kelas tiga, lho." Tiara memutar bola matanya. Tanda kalau ia tak terima dengan apa yang aku ucapkan barusan.
"Terus kenapa kalo bentar lagi ujian?" Ia bertanya dengan ketus. Mesti ekstra sabar jika ia sudah seperti ini.
Kuhela napas lagi. Anak ini tidak bisa menerima sesuatu dengan paksaan. Harus pelan-pelan agar ia mau mengerti. Baiklah. Akan kucoba.
"Seenggaknya, liburan itu bisa nanti-nanti. Ujian kamu udah depan mata, lho. Gak bisa digeser-geser. Sekarang belajar dulu yang bener, fokus ujian, dapet nilai bagus, lulus, baru liburan," kataku dengan nada selembut mungkin. "Coba kamu pikirin, deh. Kalo kamu bisa banggain orang tua kamu, siapa tahu mereka bisa kasih lebih dari sekedar liburan di Bali."
Ia terdiam. Sepertinya berusaha mencerna kata-kataku barusan lalu sadar akan kebenaran di baliknya. Karena sekian detik kemudian ia menggaruk kepalanya, yang bisa kupastikan tak gatal, dan tersenyum salah tingkah.
"Iya sih, Kak," ucapnya yang membuatku lega.
Aku tersenyum sekilas. Lalu meraih cangkir kopi di hadapanku. Menyesapnya sedikit demi sedikit. Merasakan hangatnya melewati kerongkongan. Tepat di saat itulah mataku menangkap sesosok gadis yang baru saja membuka pintu dan masuk ke dalam kafe.
Gadis itu terlihat cuek dengan penampilan. Memakai baju kasual yang memberikan kesan agak sedikit tomboi padanya. Rambutnya diikat asal ke belakang. Masih menyisakan beberapa helai rambut yang membingkai wajah. Mungkin usianya beberapa tahun di atas Tiara, tapi masih di bawahku. Sorot matanya mampu menarik perhatianku dalam sekejap.
"Kak?" panggil Tiara. Membuatku mengalihkan pandangan dari gadis itu pada dirinya.
“Ya?” tanyaku. Tak benar-benar ingin tahu karena yang ingin kuketahui sekarang hanya nama gadis tadi.
“Liatin apa, sih?” Tiara malah balik bertanya padaku. Matanya mencari-cari ke arah yang sama tempatku memandang. Semoga ia tak menyadari apa yang membuatku terpana sesaat tadi. Bisa-bisa aku habis diledek olehnya.
“Gak ada, kok.” Segera kualihkan perhatiannya lagi padaku. Dan berhasil saat ia memfokuskan kembali pandangannya ke arahku.
“Ah iya, Kak. Kapan latihan band lagi?” Tanya Tiara dengan senyumnya yang ceria seperti biasa. Sepertinya ia sudah mulai melupakan kekesalannya tadi.
“Belum tau, Ra. Aku sama yang lain masih agak sibuk. Kenapa emangnya?” Aku berusaha mencuri pandang ke arah lain, namun Tiara masih setia memandangiku. Apa aku sebegitu menariknya di mata gadis ini?
“Biasa. Aku mau nonton kakak latihan,” jawabnya malu-malu.
Belakangan ini aku merasa kalau gadis ini menyukaiku. Bukan aku terlalu pede atau kegeeran, tapi kadang aku merasa perhatian Tiara padaku terlalu berlebih. Bahkan untuk hal yang tak perlu sama sekali ia bahas karena ia bukan siapa-siapaku. Oke, aku memang menganggapnya sebagai adikku sendiri. Tapi adik kandungku saja tak seperhatian dirinya.
“Oh. Nanti aku kabarin kalo band kami latihan lagi," jawabku.
Ia mengangguk antusias. Tepat di saat ponselnya berdering. Wajah cerianya mendadak berganti dengan wajah kesal di awal pertemuan kami hari ini saat melihat layar ponselnya.
“Bentar, ya, Kak.”
Setelah aku mengiyakan, ia beranjak dari kursi tempatnya duduk. Berjalan menuju toilet sepertinya. Dan aku pun bisa bernapas lega.
Tanpa dikomando, mataku dengan liar mencari-cari sosok tadi. Gadis dengan rambut yang diikat asal-asalan. Tipe gadis berani, pembangkang dan pemberontak. Berbanding terbalik dengan gadis-gadis seperti Tiara yang menurutku terlalu manja.
Hingga akhirnya aku menemukannya. Duduk sendiri di sudut kafe, berkutat dengan laptop. Ditemani secangkir kopi panas, ia terlihat sangat serius menatap layar di hadapannya. Kedua matanya benar-benar hanya terfokus pada apa yang ada di depannya. Aku jadi ingin tahu apa yang sedang ia kerjakan sebenarnya.
Ada perasaan aneh yang kurasakan. Ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuatku tertarik. Seperti besi yang tertarik oleh medan magnet. Kekuatannya begitu besar. Membuatku ingin mengenal dirinya. Sosok gadis yang tak biasa, yang mampu menarik perhatianku hanya dalam beberapa detik saja. Bolehkah?
“Kak ….”
Baru saja hendak bendiri untuk menghampiri gadis itu, tiba-tiba terdengar suara Tiara dari belakangku. Ah, hari ini ia benar-benar membuatku repot. Ya, walau bukan salahnya juga, sih, kalau dipikir-pikir. Aku bisa saja menghampiri gadis yang memikat hatiku itu kalau mau. Tapi tak mungkin membiarkan Tiara, bukan?
"Kenapa, Ra?" tanyaku saat ia sudah duduk lagi di hadapanku.
Tiara terdiam sebentar lalu mengaduk-aduk orange juice-nya yang masih tersisa separuh. Membiarkanku menunggu dan melihat ia menyeruput sisa minumannya.
"Papa udah nelponin nyuruh pulang," jawabnya setelah membuatku menunggu puluhan detik.
"Ya udah. Pulang aja, yuk!" ajakku walau masih penasaran dengan si gadis cuek tadi. Aku antar saja Tiara pulang lebih dulu, lalu nanti kembali ke sini untuk bisa berkenalan dengan gadis itu. Ya, begitu saja.
Tiara mengangguk. Dan dalam beberapa detik saja, aku sudah ada di atas motorku. Siap untuk mengantarnya pulang.
=====
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate
RomanceTakdirmu sudah ditentukan. Bahkan sebelum kau lahir. Dan ketika takdir itu datang, kau tak akan bisa mengelak.