Aaro POV
Aku melihatnya lagi. Tidak. Kali ini lebih dari sekedar melihat. Aku mendengar suara, menatap mata dan berbicara padanya. Dia, gadis yang namanya pun tak kuketahui. Satu-satunya gadis yang mampu menarik perhatianku hanya dalam beberapa detik saja tanpa ada interaksi di antara kami, sekali pun berhadapan seperti sekarang ini.
Ia mengangkat bahunya tak acuh. Lalu berbalik memungut bukunya yang tercecer di lantai. Dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun padaku.
“Kak Aaro kok biarin dia pergi gitu aja, sih? Pake minta maaf segala lagi. Kan dia yang salah, Kak.”
Suara Tiara bahkan tak mampu membuatku mengalihkan pandangan dari gadis yang makin menjauh itu. Aku masih tetap memandanginya hingga mataku tak bisa lagi menjangkaunya.
“Kak Aaro!”
Tiara berhasil membuatku menoleh. Berkat suaranya yang bernada tinggi dan guncangan tangannya di bahuku. Tergambar jelas kekesalan di wajahnya. Namun lebih dari itu, aku menangkap kecemburuan di sana.
“Iya?”
Gadis di hadapanku ini terdiam. Ekspresinya amat sangat jauh berbeda dengan yang tadi kulihat.
“Kak Aaro kenal dia?” tanyanya dingin.
Aku menggeleng. Sorot mata Tiara yang tajam membuatku sedikit kaget. Tak menyangka kalau ia bisa membuatku takut seperti sekarang.
“Gak kenal kok dibelain?” Entah kenapa ucapannya serasa mengiris telingaku. Begitu tajam.
“Siapa yang belain?” tanyaku mencoba mempertahankan suaraku. Tak ingin terdengar gugup olehnya.
“Kakak lah!” jawab Tiara sedetik setelah aku bertanya.
Aku menghela napas. Mencoba untuk sekedar terlihat bijak. Lagipula tadi memang salah Tiara. Jadi buka semata-mata aku membela gadis itu.
“Tiara, denger, ya. Aku gak sedikit pun belain dia. Karena memang kamu yang salah pada awalnya. Kamu yang gak merhatiin jalanan di depan, kamu yang nabrak dia, udah gitu kamu malah marah-marah sama dia. Makanya aku minta maaf.” Tiara terdiam. Namun tatapannya sudah agak melembut.
“Jadi, di sini aku gak ada belain siapa-siapa. Mau dia atau kamu. Kalo itu salah, gak peduli sedeket apa aku sama orang itu, aku akan tetep bilang salah. Ngerti, Ra?"
Tiara menggangguk, membuatku menghela nafas lega. Tak ingin terlihat jelas kalau aku punya alasan lain membela gadis asing yang baru kedua kali ini aku lihat. Sesuatu yang tak mungkin mudah diterima. Bahkan bagiku pribadi.
"Maaf, Kak." Suaranya terdengar penuh sesal. Sangat kontras dengan ekspresinya tadi, yang juga penuh penyesalan sekarang.
“Jangan minta maaf sama aku. Harusnya sama gadis tadi.” Kekesalan kembali terlihat di wajahya meski tak sekentara sebelumnya. “Ya udah, untuk kali ini termaafkan. Asal jangan ada kejadian kayak gini lagi.”
Tiara mengangguk dan tersenyum manis. Kedua matanya menyipit di balik kaca mata yang ia keenakan. Juga lesung pipit yang membuat ia makin manis. Gadis ini, meski ia bukan tipe gadis yang kuinginkan, cukup mampu membuatku senang memandang wajahnya. Karena ia benar-benar seperti adikku. Minus sifat manja dank keras kepalanya tentu saja.
“Keluar, yuk! Aku laper,” ujar Tiara dan membuatku mengangguk mengiyakan.
=====
Wajahnya berkelebatan lagi di pikiranku. Seolah dengan menutup mata, aku dapat melihatnya berdiri di depanku. Persis seperti kemarin.
Gadis asing yang sama sekali tak kuketahui identitasnya itu begitu menyita pikiran. Semenjak pertemuan kemarin, tak bisa kusangkal kalau ia benar-benar membuatku lupa akan apa yang terjadi di sekitarku. Bahkan ketika Tiara mengoceh tentang sekolah, teman-teman, nilai ujian dan guru yang menurutnya menyebalkan. Aku seolah tak ada di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate
RomanceTakdirmu sudah ditentukan. Bahkan sebelum kau lahir. Dan ketika takdir itu datang, kau tak akan bisa mengelak.