Takdir Ketujuh

800 34 9
                                    

Aaro POV

Jika kau tanya aku apa yang membuatku bahagia saat ini jawabannya adalah Feyta. Hanya menatapnya saja sudah membuatku puas. Senang meski tak ada kata sedikit pun yang terucap di antara kami. Selama berpuluh menit.

Berkali-kali kucoba untuk bicara, namun tak jadi. Lalu akhirnya ia yang bertanya terlebih dahulu. Berbicara mengenai pertemuan kami di toko buku. Ia bahkan menyangka kalau Tiara adalah pacarku. Tapi tentu saja kubilang kalau Tiara itu hanya sekedar teman.

Aku terlalu dalam terseret di pusaran kebahagian dan ketidakpercayaan sampai akhirnya melupakan Tiara. Jika saja Feyta tak menanyakan Tiara di mana, aku tak akan ingat kalau gadis itu kutinggalkan begitu saja di bioskop.

Saat kulihat ponsel yang sedari tadi kuabaikan, aku baru tahu kalau ada 12 miscall, 10 SMS, dan beberapa chat dari Tiara. Isinya sama, menanyakan keberadaanku di mana.

Aku pamit pada Feyta, setelah ia memberikan nomor ponselnya. Mau tak mau aku harus melihat Tiara. Aku tak mungkin mengabaikannya lagi. Yang penting sekarang aku bisa menghubungi Feyta kapan pun.

Mungkin salah saat aku mencarinya di bioskop. Aku sama sekali tak menemukan Tiara di sana. Teleponku tak dijawab, SMS dan chat-ku pun tak dibalasnya. Apa ia marah?

Aku tak bisa untuk tak acuh begitu saja. Keluar dari gedung ini, kuarahkan motor menuju rumah Tiara. Kaget saat ibunya bilang kalau gadis itu pulang dengan menangis, tak lama sebelum aku datang ke sini. Panggilan juga ketukan di pintu kamar tak ia dengar sama sekali.

Aku khawatir. Apa sesuatu terjadi padanya setelah aku meninggalkan ia sendirian tadi? Kalau iya, aku tak akan memaafkan diriku sendiri.

Pulang ke rumah adalah satu-satunya pilihanku saat ini. Kata ibu Tiara, gadis itu tak akan mau keluar dari kamar sebelum ia benar-benar lelah menangis. Jadi aku memilih tak mengganggunya.

Baru saja memarkir sepeda motor di garasi, ada sebuah pesan singkat dari Tiara yang membuatku ingin ditelan bumi.

‘Aku sayang kamu, Kak.’

=====

Apa yang kau lakukan jika sesorang yang sudah kau anggap adik sendiri ternyata menyukaimu? Lalu di saat bersamaan, kau menemukan dirimu sendiri jatuh cinta pada gadis lain. Saat ini, aku ada di posisi itu.

Sejak pulang tadi aku hanya memandangi ponsel. Membaca perlahan 4 kata di sana. Pesan singkat dari Tiara mampu membuatku jadi goyah seketika. Kebahagiaan yang kurasa saat bertemu Feyta tadi sore seakan terlupakan. Ah iya, Feyta. Aku berjanji akan menghubunginya tadi.

Mungkin aku gila. Di tengah kebimbangan masih bisa mengajak Feyta keluar akhir pekan ini. Hari sabtu yang biasanya kuhabiskan dengan Tiara. Lagi. Kenyataan Tiara yang sayang padaku membuat aku merasa jadi cowok berengsek. Tapi bukan mau dan salahku kan kalau Tiara mempunyai perasaan itu?

Egois memang kedengarannya. Tapi hanya ini yang bisa kulakukan. Aku tak boleh memberi harapan pada Tiara. Gadis ini harus tahu kalau aku hanya akan ada sebagai seorang kakak saja baginya, tak pernah bisa lebih.

Pesan dari Tiara belum sempat kubalas. Atau mungkin aku sama sekali tak ingin membalasnya. Ia pun tak ada lagi menghubungi. Harapanku cuma satu. Ia baik-baik saja malam ini.

=====

“Fey ….”

Sudahkah kubilang kalau gadis ini begitu manis dengan senyumnya? Tentu saja belum. Karena seingatku, ini senyum lebarnya yang pertama.

“Hai ….”

Aku menemuinya di kafe tempat pertama kali melihatnya. Dan ia sudah terlihat duduk di sudut kafe tersebut. Tempat ia duduk dulu. Seperti tempat ternyaman sedunianya.

“Hai …. Udah lama?” tanyaku sembari menarik kursi di depan Feyta dan mendudukinya.

“Belom, kok. Mau pesen apa?”

Ia memberi isyarat pada pelayan untuk menghampiri kami. Lalu kusebutkan pesanan dan pelayan tersebut mencatat. Kemudian berlalu setelah meminta kami menunggu.

Feyta terlihat sangat cantik di mataku. Rambutnya tergerai begitu saja meski tak sepanjang Tiara. Tapi aku menyukainya. Mata Feyta lebih banyak berbicara daripada bibirnya. Meski kadang, aku tak mengerti arti tatapannya yang berbeda-beda. Sangat khas Feyta.

Ia bukanlah tipikal gadis yang akan berlama-lama nongkrong di mall bersama kumpulan gadis sebayanya. Bergosip tentang apa pun  itu. Ia lebih suka sendiri, meski sadar bukan tak membutuhkan orang lain.

Bagaimana aku bisa tahu? Padahal baru bertemu beberapa kali. Karena Feyta sangat bertolak belakang dengan Tiara. Meski keduanya bukan tipe gadis idamanku sebenarnya. Tapi Feyta lebih bisa membuatku tertarik, mengalihkan dunia hanya pada ia seorang. Bahkan sebelum bisa tahu namanya.

“Jadi …,” ujar kami bersamaan. Aku dan Feyta sama-sama tersenyum.

“Kamu duluan ….” Lagi. Kami mengucapkannya bersamaan. Lalu Feyta memberi isyarat padaku untuk berbicara terlebih dahulu.

“Jadi, kamu kuliah?”

Ia mengangguk dengan ekspresi yang terlihat tak biasa. Kaku. Kembali pada raut wajah yang membuatku jatuh hati. Dingin.

“Iya. Baru masuk tahun kedua.” Dia diam sejenak. “Kalo kamu? Masih kuliah apa udah kerja?”

“Sama. Kuliah juga. Udah selese seandainya gak ada skripsi.”

Feyta tertawa lagi. Cantik. Setidaknya di mataku. Lalu perlahan pembicaraan kami mengalir begitu saja. Ia tak banyak bicara, lebih banyak mendengar. Sesekali tertawa dengan apa yang aku ceritakan. Kucoba untuk memancingnya bercerita, namun sepertinya ia enggan. Hanya beberapa yang ia ceritakan. Dan aku takkan memaksa.

Tak ada yang spesial, tak ada yang luar biasa. Hanya obrolan kecil, santai, seputaran kehidupan kami. Dunia yang membuatnya bosan karena tiap hari yang ia lewati tak ada yang bisa diceritaan dengan penuh antusias. Tapi hal itu cukup membuatku senang.

“Ah, udah malem, Fey. Mau aku anter pulang?” tanyaku saat jarum pendek jam tanganku menunjuk angka 10.

“Enggak usah.” Ia menggeleng. “Aku bawa motor, kok.”

Kami berdiri. Keluar dari kafe, meninggalkan keyamanan di dalamnya. Aku mengikuti Feyta menuju motor matic berwarana biru yang mungkin miliknya. Ia memandangku begitu langkah kaki kami berhenti.

“Makasih ya, Aaro.”

Aku tersenyum, dalam hati menyanggah. Harusnya aku yang berterima kasih, Fey. Namun gerakan kepala tak sejalan dengan apa yang hatiku katakan.

“Sama-sama, Fey. Makasih juga buat waktunya.” Kulihat raut wajahnya makin ceria. Tak boleh aku lewatkan sama sekali.

Ia mengangguk dengan senyum manis yang baru dua kali ini kulihat.

“Aku pulang dulu, ya,” pamitnya.

Aku mengangguk. “Hati-hati.”

“Iya.”

Feyta memutar kunci kontak dan menyalakan mesin. Sekilas ia tersenyum, sangat tipis. Menunjukkan kecantikan yang ia punya dibalik setelan baju kasual wajah tanpa make up-nya. Kulambaikan tangan begitu ia berlalu dari hadapanku.

Fey, jangan lelah dan menyerah pada dunia. Karena mulai sekarang, aku ingin duniamu menjadi duniaku juga. Dunia kita.

=A=

FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang