Feyta POV
Terima kasih, Tuhan. Entah ini bisa disebut berkah atau bukan, yang pasti hatiku merasakan kebahagiaan yang membuncah. Karena ia ada di hadapanku sekarang. Duduk dengan tegap namun aku menangkap kegugupan di sana. Dia, pemuda yang selalu membayangiku beberapa minggu ini. Terakhir aku berhadap-hadapan di toko buku saat kejadian tak mengenakkan itu terjadi.
Ia masih terdiam. Begitu pun aku. Beberapa puluh menit yang lalu ia datang menghampiriku. Menepuk bahuku lalu mengenalkan dirinya. Sempat ragu, akhirnya kuterima uluran tangannya dan menyebutkan nama. Sampai akhirnya ia mengajakku ke sini, sebuah kafe di mall yang kami kunjungi sore ini.
Aaro. Begitu ia menyebutkan namanya di depanku tadi. Di tengah keramaian orang-orang yang berlalu-lalang dii sekitar kami. Pemuda yang menarik hatiku tanpa kutahu apa penyebabnya. Hanya Tuhan yang tahu mengapa Ia memberiku perasaan seperti ini untuk Aaro.
Sulit untuk dijelaskan dan dimengerti, bahkan untukku sendiri. Sesuatu yang sangat tak logis di mana aku menyukai seseorang yang bahkan baru kuketahui namanya sekarang. Tapi inilah yang terjadi. Aku sudah mulai menaruh perhatian padanya sesaat setelah melihat punggungnya di kafe tempo hari.
Dengan gelisah, ia terlihat mencoba untuk bicara. Setelah beberapa kali mulutnya terbuka lalu tertutup kembali.
“Aku ….” Ia kembali terdiam. Apa sesulit itu untuknya berkata di depanku?
“Boleh aku dulu yang bicara?” tanyaku setelah sekian detik berikutnya tak terdengar lagi suara Aaro.
Ia mengangguk kaku.
“Kita pernah ketemu, kan?” Ia mengangguk lagi. Masih terlihat gugup seperti sebelumnya. “Waktu sama pacarmu di toko buku itu.”
“Temen.” Ia meralat ucapanku dengan sangat cepat. “Tiara cuma temen.”
Aku mengangguk mengerti. Ternyata gadis manja yang keras kepala bernama Tiara itu hanya temannya. Entah bagaimana bisa, ada kelegaan tersendiri saat mendengarnya.
“Aku seneng bisa ketemu lagi sama kamu di sini.”
Untuk pertama kalinya kudengar Aaro berbicara lancar. Ia lebih bisa menguasai dirinya sekarang. Kurasa bukan hanya perasaanku saja kalau ia sangat tampan saat tersenyum dengan lepas seperti ini.
“Aku juga.”
Ponselnya berbunyi lagi. Entah untuk keberapa kali. Ia hanya membiarkannya dari tadi. Hanya melihat siapa yang menghubunginya lalu kembali menatapku.
Menatap? Ya, hanya itu yang sedari tadi ia lakukan. Bedanya, sekarang ia lebih rileks. Jika dibadingkan dengan tadi yang gugup dan seolah aku akan menerkamnya.
“Kamu sendirian?” tanyaku. Aku penasaran karena 2 kali aku melihatnya, 2 kali pula ia bersama gadis itu.
“Oh, itu. Enggak, tadi bareng Tiara, kok.” Aku mengernyitkan dahi.
“Terus sekarang dia di mana?”
“Bioskop. Nonton.” Ia menjawab santai sambil tersenyum.
“Oh. Gak sama kamu?”
“Tadinya. Tapi sekarang …. Astaga!” Ia tiba-tiba panik dan seketika mengambil ponselnya yang tergeletak dengan pasrah di atas meja.
Aku bisa menebak kalau ia meninggalkan gadis itu di bioskop dan melupakannya begitu saja. Sepertinya gadis bernama Tiara itu tak berarti apa pun untuk Aaro. Seperti katanya tadi, hanya teman.
“Um … Fey. Aku mesti pergi, nih.”
“Oke,” jawabku singkat. Tak acuh meski agak kecewa.
“Boleh minta nomor yang bisa dihubungi?” tanya ragu. Pertanyaan yang kutunggu sejak tadi.
Aku mengangguk dan memberinya nomor ponselku. Dan membiarkannya pergi setelah ia berjanji akan menghubungiku.
=====
Aku bukan tipe orang yang suka menunggu. Apalagi menunggu hal sama sekali tak jelas. Apa itu akan terjadi atau tidak. Tapi kali ini berbeda.
Sepulang dari mall tadi tak sedetik pun aku melepas ponsel. Kecuali ke kamar mandi tentunya. Sangat tahu pasti apa yang kutunggu. Aaro.
Tapi sampai sebosan apapun aku menggenggamnya, apa yang kuharapkan tak kujung datang. Merasa seperti orang bodoh mengharapkan hal yang tak pasti selama berjam-jam. Kuletakkan ponsel di atas nakas. Menghempaskan harapanku untuk bisa mengenalnya lebih jauh.
Merebahkan tubuh di atas empuknya kasur, wajah Aaro tetap membayangiku. Sudah sperti candu yang membuatku tak bisa lepas barang sedetik pun. Mungkin kalau tadi aku juga meminta nomor ponselnya, sekarang aku bisa menghubunginya. Tak perlu menunggu ia menghubungiku terlebih dahulu.
Tidak. Mengapa aku begitu mengharapkannya? Bukankah kami baru saja berkenalan tadi sore? Jangan hanya karena ia terus memandangiku, bukan berarti rasa kami sama, bukan?
Aku menepis semua kemungkinan juga pikiran yang berkelebatan. Tak ada jaminan apa pun kalau Aaro akan menghubungiku atau kami bertemu lagi. Mungkin saja ia sedang sibuk dengan gadisnya saat ini. Meski tadi ia menyangkal kalau gadis itu kekasihnya.
Dering pesan singkat dari ponsel mengurungkan niatku menutup mata. Tanpa aba-aba, aku bangun dan segera meraih benda tipis itu. Melihat sebuah nomor baru mengirimiku SMS.
'Hai, Fey. Lagi apa? –Aaro–‘
Aku tetap tenang meski hatiku sudah bersorak gembira. Kedua sudut bibirku tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman.
Basa-basi sama sekali bukan keahlianku. Hanya saja, dengannya berbeda.
'Lagi duduk. Kamu?’
Sungguh, ini bukan pertama kalinya aku membalas pesan seorang cowok. Hanya saja rasanya berbeda. Aku, yang amat sangat cuek dan cenderung tak peduli saat berinteraksi dengan seseorang, kali ini teramat senang hanya karena sekedar pesan singkat. Benar-benar seperti orang bodoh. Khas orang jatuh cinta.
Benarkah cinta? Terlalu dini untuk menyebutnya seperti itu. Tapi anggap saja begitu. Aku tak tahu ungkapan apalagi yang pas untuk mengumpamakannya.
‘Sama. Kamu ada acara gak Sabtu besok?’
Apa ini? Apa ia mengajakku keluar Sabtu besok?
‘Gak ada. Kenapa?’
Debaran di dadaku makin kencang, menunggu jawabannya. Apakah seperti yang kupikirkan? Ia membalasnya tak lama kemudian.
‘Kalo enggak ada, mau jalan sama aku, gak?’
Tepat. Memang sama seperti yag kukira. Setelah aku mengiyakan, ia janji menemuiku di sebuah kafe pada hari Sabtu tepat pukul 4 sore. Aaro lalu pamit untuk tidur.
Kembali kuhempaskan tubuh ke kasur yang empuk. Kali ini dengan perasaan yang berbeda. Entah sejak kapan aku merasa menjadi bukan aku. Semua berawal dari Aaro. Semudah itukah ia membuatku menjadi seperti ini? Dan aku tak bisa menyangkal jawabannya. Karena memang ia benar-benar dengan mudahnya membuatku merasa berbeda.
=Feyta=
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate
RomanceTakdirmu sudah ditentukan. Bahkan sebelum kau lahir. Dan ketika takdir itu datang, kau tak akan bisa mengelak.