Feyta POV
Rumahku kosong lagi. Selalu seperti ini setiap kali aku di rumah. Seolah tak ada kehidupan. Walau memang begini keadaannya tiap waktu. Bagai tak berpenghuni. Ayah, ibu dan kedua kakakku jarang ada di rumah. Mereka hanya sekumpulan orang-orang egois, dengan segala kesibukannya di luar, yang menurutku tak pantas disebut keluarga. Terlalu sibuk mengurusi urusannya masing-masing tanpa peduli satu sama lain.
Kuhempaskan tubuhku ke atas empuknya sofa di ruang tengah. Berniat melepas segala penat yang kurasakan. Belakangan ini sibuk dengan segala macam tugas dari dosen yang membuat kepalaku rasanya mau pecah saja. Kuhela napas sepanjang-panjangnya hingga oksigen memenuhi paru-paru. Lalu menghembuskannya keras-keras.
Mungkin lebih baik aku keluar saja. Mencari ketenangan di luar sana. Satu hal yang entah mengapa sulit kudapat di rumahku sendiri akhir-akhir ini.
Selesai berganti pakaian, kuambil kunci motor yang tergeletak pasrah di atas nakas. Keluar dari rumah dan berjalan menghampiri motor yang selalu menemaniku setiap hari. Mengendarainya sembari memikirkan tempat yang akan jadi tujuanku. Hingga berbelok di ujung jalan, ku tahu hendak kemana aku sekarang.
===
Kubuka pintu kafe di depanku perlahan. Dengan seketika dinginnya temperatur di dalam ruangan menyambutku. Berbanding terbalik dengan udara di luar sana yang amat menyengat panasnya.
Meja di sudut ruangan langsung menarik perhatianku. Tempat favorit yang akan selalu kosong setiap kali aku datang ke sini. Tapi ada perasaan aneh saat aku berjalan dari pintu masuk menuju meja tersebut. Perasaanku berkata ada yang memperhatikanku sejak tadi. Tapi tak ada seorang pun saat kuputar kepala ke sebelah kanan. Hanya ada seorang gadis dan pemuda —yang sepertinya sepasang kekasih— sedang asyik berbicara.
Mengabaikan perasaan tadi, aku duduk dan memesan minuman. Lalu seperti biasa mulai berkutat dengan laptop. Ditemani secangkir kopi panas yang baru disajikan oleh pelayan, aku tenggelam di dunia maya. Namun ada yang menggangguku setelah belasan menit berlalu. Perasaan itu datang lagi di tengah keasyikanku menarikan jemari di atas keyboard. Aku yakin jika ada yang memerhatikanku di sana. Dari tempat sepasang kekasih yang kulihat tadi duduk. Tapi untuk apa jika memang salah satu dari mereka memperhatikanku?
Dengan rasa penasaran yang teramat sangat, kutolehkan kepala ke arah yang sama. Namun mejanya kosong. Tak ada sepasang kekasih tadi maupun orang lain. Tepat di saat hendak kembali menatap layar yang kutinggalkan tadi, kulihat gadis di meja tadi bergelayut manja di lengan kekasihnya dekat pintu keluar. Dan mataku tak lepas dari punggung pemuda itu.
===
Kakiku terus berjalan di antara rak yang berjejer rapi di toko buku. Mulai menjelajahi deretan buku yang terpampang di sana. Mencari satu atau beberapa buku yang menjerit, meminta untuk kubaca. Bagiku, mencari buku harus benar-benar serius dan menggunakan suara hati untuk menemukan satu yang memang diciptakan untukku.
Aku berdecak pelan tak puas. Tak menemukan satu pun buku yang memikat hatiku di deretan ini. Dengan menelaan paksa rasa kecewa, aku mundur dan bergegas menuju rak buku lain.
Sama seperti tadi, dengan teliti kubaca setiap judul buku yang tertata rapi di hadapanku. Hinggga tanpa sengaja mataku menangkap sesosok pria, mirip dengan seseorang yang sempat membuatku penasaran hanya dengan melihat punggungnya saja beberapa hari lalu.
Aku merasa ada sesuatu pada dirinya. Sesuatu yang istimewa, yang menarik perhatianku dari awal melihatnya. Namun segera kutepis pikiran dan perasaan tak wajarku. Lagi pula tak ada yang bisa menjamin aku bisa kembali bertemu dengannya.
Kuputuskan kembali ke deretan buku yang bergeming di depanku. Memulai lagi pencarian di sana meski pikiranku mulai tak fokus. Lagi-lagi bayangan punggung itu berkelebatan di mataku. Sial! Tak biasanya aku seperti ini. Bagaimana bisa hanya dengan punggung saja ia bisa membayangiku terus menerus?
Tanpa berpikir lagi, kutarik sebuah buku yang menurutku cukup menarik untuk dibaca. Bergegas menuju kasir dan segera keluar dari tempat ini. Tapi sebelum sampai di kasir, seseorang di depanku —yang dari tadi kulihat menatap entah ke mana— menabrak hingga bukuku dan semua buku di tangannya jatuh berserakan di lantai.
“Aaw!” jeritnya manja saat bahu kami saling bertabrakan. Aku sendiri hanya meringis pelan.
Kuteliti orang di depanku. Seorang gadis berkaca mata dengan dress pink selutut dan flat shoes warna senada. Feminin dan masih terlihat seperti anak kecil.
“Pake mata, dong, kalo jalan.” Terdengar suara ketus di belakangku saat aku berniat untuk memungut buku yang tercecer di lantai.
Aku berbalik menghadapnya. Dengan malas kujawab ia yang tengah memegangi bahu, “kayaknya tadi kamu, deh, yang gak hati-hati jalannya.”
Aku kembali berbalik dan berjalan ke arah bukuku berada. Hingga kudengar gadis itu kembali meracau sebelum berhasil memungutnya.
“Jelas-jelas tadi lu yang nabrak gue!” Kentara sekali nada kesal di dalam ucapannya.
Karena mulai merasa terganggu, aku berbalik lagi. Berjalan pelan ke arahnya dan memberinya tatapan tajam. Ia sudah berani mengusikku. Dan aku tak bisa membiarkannya. Karena jelas-jelas ia yang salah.
“Jaga omongan kamu, Nona. Dari tadi mata kamu cuma fokus pada satu titik. Itu yang bikin kamu nabrak orang, yang kebetulan adalah saya, sembarangan. Dan sekarang kamu nyalahin orang yang kamu tabrak. Egois sekali.” Aku tak peduli jika ucapanku terdengar sinis.
“Maafin temen saya,” kata seseorang tiba-tiba dari belakangku.
Punggung itu.
Aku melihat punggung yang sama saat pria tadi melewatiku dan berdiri di sebelah gadis itu, di hadapanku. Dan sekarang aku ingat. Mereka adalah sepasang kekasih yang kulihat di kafe tempo hari. Dengan artian, dia memang pemilik punggung yang akhir-akhir ini membayangiku, mengusik pikiranku.
“Apaan, sih, Kak?” tanya gadis manja itu tanpa menyembunyikan rasa tak sukanya. Menarikku kembali dari lamunan.
Pemuda itu seolah memberinya isyarat untuk diam. Dan dia menurut begitu saja. Meski raut tak suka masih ada di wajahnya. Begitu besar pengaruh pemuda itu bagi gadis kecil ini.
“Sekali lagi maaf, ya.” Ia kembali bersuara. Memintakan maaf untuk gadis di sebelahnya.
Aku mengangkat bahuku tak peduli lalu memungut buku yang jatuh dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun padanya dengan menahan rasa penasaranku yang makin memuncak.
"Ish! Kak Aaro kok biarin dia pergi gitu aja, sih? Pake minta maaf segala lagi. Kan dia yang salah, Kak."
Masih terdengar kalimat yang mengganggu telingaku dari bibir gadis itu. Dan rasa tertarikku pada pemuda yang bersamanya makin besar sekarang.
===
![](https://img.wattpad.com/cover/11459328-288-k797870.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate
Roman d'amourTakdirmu sudah ditentukan. Bahkan sebelum kau lahir. Dan ketika takdir itu datang, kau tak akan bisa mengelak.