Part 7. Nobar Kuy

44 6 3
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

***

Cantik sih, tapi sukanya ngerebut. Hati-hati, siapa tahu cuma dijadiin pelarian kan?
~Jihan Nuria~

Melepas Ikatan Menuju Ketaatan
Rani Septiani

***

Peringatan!!
Segala tindakan atau perkataan tidak baik, bukan untuk ditiru!!
Silakan ambil pelajarannya, ambil yang baiknya dan buang jauh-jauh yang buruknya.

Selamat membaca ❤

***

Aku meringis mengingat sesi instrogasi tadi malam, bagaimana aku datang ke rumah dan sudah disambut oleh Ibu. Sedangkan Bapak dan Adikku sudah tidur. Aku tidak berani bercerita pada Ibu dengan jujur apa yang terjadi di pasar malam. Karena aku takut membuat orang tuaku semakin khawatir dan takut kalau mereka akan membatasi pergaulanku. Atau bahkan memintaku untuk putus dengan Fakhri, sepertinya ini bukan sekadar kemungkinan tapi kepastian. Orang tua mana yang rela anak gadisnya disentuh oleh yang bukan mahram? Sejauh yang aku tahu, dan kenal dengan setiap orang tua membuat aku tahu kalau orang tua tidak akan rela anaknya disentuh dengan lawan jenis.

Aku beberapa kali mengusap keringat yang bercucuran di dahi, pelipis, hidung dan atas bibir. Jantungku berdebar, tangan dan kakiku terasa dingin. Ibu menatapku penuh selidik. Pasalnya ini baru ketiga kalinya jalan malam bersama Fakhri selama kami pacaran. Jalan malam yang pertama dan kedua lancar jaya karena kami pergi rombongan. Yang pertama bersama gengku beserta geng Fakhri dan yang kedua bersama orang tuaku dan orang tua Fakhri. Dan yang ketiga ternyata tidak semulus perjalanan pertama dan kedua.

"Minum dulu, Kak."

Aku mengangguk. "Makasih, Bu."

Setelah air minum habis setengah gelas, aku mulai merasa tenang dan bertenaga. Ternyata menangis cukup menguras tenaga dan emosi juga.

"Kenapa nggak dianter Fakhri?" tanya Ibu tepat sasaran. Padahal aku berharap tidak ditanya soal ini. Karena kalau Fakhri yang menjemput atau mengantar aku pulang, pasti Ibu bakalan tahu karena pasti Fakhri akan menemui orang tuaku.

Aku yang akan mengatakan bahwa Fakhri tadi mengantar dan langsung pulang pun tidak jadi. Karena aku tidak berani berbohong. Aku menarik napas pelan, berusaha menghilangkan gugup.

"Biasa, Bu. Hehe."

Ibu geleng-geleng kepala. "Berantem?"

"Iyaa. Biasa anak muda, Bu."

Aku menggigit bibir bagian bawah, bagaimana kalo Ibu bertanya penyebab aku putus karena apa?

"Aman kok, Bu. Ibu tenang aja ya," ucapku sembari memegang punggung tangan kanan Ibu.

Ibu menoleh, mengusap kepala dan pipiku membuat aku tersenyum. Aku tidak mau menutupi apapun dari Ibu, tapi aku takut berterus terang.

"Ibu dan Ayah percayakan sama Kakak. Tapi kalo memang udah nggak ada kecocokan antara kamu dan Fakhri lebih baik udahan aja. Mumpung masih pacaran, sebelum hubungan kalian menuju ke jenjang yang lebih serius nanti takutnya lebih sulit mengakhirinya, Kak. Satu pesan Ibu, jaga nama baik kamu dan keluarga. Ya sudah istirahat sana. Ibu mau tidur juga."

Aku mengangguk. "Makasih banyak ya, Bu."

Bukannya langsung ke kamar, aku malah menegadahkan kepala. Menutup mata sejenak. Bahkan Fakhri nggak ada ngehubungi buat sekadar nanya apa aku udah sampe rumah atau belum. Apa dia nggak khawatir? Sejenak aku mengusir Fakhri dari fikiranku, kini perasaanku didominasi rasa bersalah kepada Ibu karena sudah membuatnya khawatir.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Melepas Ikatan Menuju KetaatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang