Ritual

1.4K 169 6
                                    

Setiap dirinya ditawari kamar pribadi oleh kedua orang tuanya, anggukan kencang adalah jawabannya. Ia akan beranjak dari tempat duduknya dan berteriak kesenangan karena hendak diberikan kamar yang hanya dihuni dirinya seorang itu. Ia terus terusan membeberkan rencananya jika kelak diberikan kamar pribadi. Ia menceritakan kepada ibunya jika ia akan membawa semua mainan yang ada di bawah rak televisinya dan terjaga semalaman penuh memainkan mainannya.









Namun yang terjadi sekarang adalah dirinya yang terisak dengan tangannya yang terus terusan mengucek matanya agar tidak menumpahkan laharnya, sedikit sesenggukan dengan hidung yang kembang kempis. Seperti habis dilanda beban hidup yang berat, otaknya kembali memutar ucapan kedua orang tuanya kepada dirinya yang terjadi beberapa waktu lalu.








"jisung... Inikan bapak udah nyiapin duit buat bangun kamar kamu. Nah sekarang ibu  mau nanya lagi sama kamu. Kamu beneran mau ga tidur sendirian, pisah sama ibu sama bapak?"

"kapan bu?"

"yahhh.. Paling besok udah bapak beliin bahan bahan buat bangun kamar kamu" yang ini jeno, bapak satu anak itu datang dari arah dapur sambil menyeka rambut sedikit basahnya dengan handuk, lalu mendaratkan bokongnya disamping kiri jisung.

"ngga minggu depan aja pak?" jisung menatap mata jeno mengiba, berusaha bernegoisasi untuk memundurkan waktu pembangunan kamar pribadinya.

Lho bukannya jisung ingin sekali memiliki kamar pribadi?

Harusnya iya, tapi ia tak tau kalau ia akan pindah kamar secepat itu. Sebenarnya anggukan gembira dan penuh semangat itu hanya kedoknya saja. Ia termakan gengsi teman temannya yang sudah memiliki kamar masing masing seusianya. Jadi begitu ayahnya menawari akan membuatkan kamar pribadi untuknya, ia dengan semangat mengiyakan tanpa mempertimbangkan hal yang lain,

bahwa ia membutuhkan ibunya ketika hendak tidur.



Ia pikir ini hanya sekedar wacana saja, ia tak menyangka bahwa bapaknya sama semangatnya dengan "semangat" dirinya.

Jadi disinilah ia berakhir, menerawang menatap lurus televisi di ruang depan. Duduk melipat kedua lututnya di depan dada sambil memikirkan kemungkinan kemungkinan buruk yang akan menimpanya jika ibunya tak lagi menina bobokannya, hingga tak terasa ia mengeluarkan emosinya dengan terisak dan menjatuhkan air matanya. Beruntung isakannya tak didengar ibu dan ayahnya yang sekarang berada di dapur, sedang menyiapkan makan malam sepertinya.

Ia menghela napasnya panjang panjang, siap menyambut konsekuensi nya begitu suara ayahnya menggema dari arah dapur meminta dirinya untuk segera menghampiri meja makan.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
                                           

"jisung kenapa belum tidur? Udah ibu usep usep punggungnya daritadi kenapa melek mulu?"

Belum ada jawaban dari jisung, bocah itu kini sedang berada di ranjang, tidur di antara kedua orang tuanya. Dirinya berbaring miring menghadap sang ayah tanpa peduli apa yang sedang dilakukan ayahnya itu.

"jisung?"

Jisung hendak merespon ucapan ibunya itu. Namun alih alih menjawab, yang keluar dari mulutnya adalah isak tangis yang semakin lama semakin kentara itu.

Dirinya bukan tanpa alasan tak menjawab panggilan pertama ibunya, ia hanya takut mengeluarkan suara yang bergetar akibat emosinya yang masih belum tersuarakan. Namun, seperti mendapatkan tuntutan untuk menjawab panggilan kedua ibunya, bukan hanya suara bergetar yang ia keluarkan malah sekaligus isak tangisnya yang ia berikan kepada sang ibu.

MIGNONETTE (KEMBANG DESA) || NOREN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang