Takdir

423 48 12
                                    

(🐑🐑🐑5 CHAPTER TERAKHIR, HARAP DIBACA!)

"AWWW"

"Rasain!"

"...."

"sakit banget ya?"

"ssssh, iya"

"maaf ya jeno. Aku narik permen karetnya terlalu kenceng"

Itu kali pertama renjun menatap wajah pucat jeno dengan intens. Pertemuan tak sengaja mereka di pematang sawah ketika ia berumur 9 tahun mengantarkan mereka pada benang merah yang sama. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika ia kembali mengingat dirinya di masa kecil yang selalu mencari gara gara. Ia yang terjerambab dalam lumpur sawah sebab ayam jantan milik jeno itu membuatnya kesal dan berakhir menaruh permen karet hambar yang ada di mulutnya ke atas rambut jeno. Namun, tetap saja perasaan bersalah menghampirinya ketika nampaknya permen karet itu begitu erat merekat pada rambut legam lelaki itu. Dan tarikan kasarnya pada permen karet itu membuat jeno meringis, yang tentu saja membuat tangan kecilnya bergerak memeluk punggung kecilnya, berusaha meminta maaf dan menenangkan bocah lelaki itu seperti yang biasa ayahnya lakukan kepada ibunya ketika sang ibu sedang bersedih.

Senang sekali rasanya memiliki teman semenyenangkan jeno. Masih segar di ingatannya bagaimana kaki kecil nan lincahnya mengendap endap kabur dari rumahnya hanya untuk memamerkan sandal barunya pada bocah pucat itu yang hanya direspon gelengan kepala olehnya. Tak peduli ia tentang kemungkinan telinganya yang tuli sebab teriakan sang ibu yang meminta dirinya untuk tak bermain jauh dari rumah. Yang ia inginkan hanya bermain dengan jeno sepanjang hari.

"jenooo.. Kamu ga keberatan?"

"hm, ya berat"

"yaudah turunin aku sini"

"kalo kamu berat aku ga akan betah gendong kamu selama ini ren"

"yaa siapatau kamu memang udah cape"

"terus kamu mau jalan pake sendal sebelah doang gitu?"

Sial sekali, sandal kesayangan pemberian ayahnya harus hilang ditelan kubangan lumpur ketika ia dan jeno tengah dikejar kejar oleh sekawanan angsa. Jika diingat ingat, ia amat sangat menyesal ketika sang ayah menanyai kemana perginya sandal berwarna biru muda yang cantik itu. Dan tentu saja ia membual kepada ayahnya, tak mungkin ia mengatakan bahwa tingkah nakalnya yang gemar berkeluyuran di malam hari membuatnya mendapat petaka dan berlari terbirit birit karena segerombolan angsa yang hendak memangsanya. Mana sudi ia membuat telinganya panas mendengar ocehan kedua orangtuanya.

Untung saja waktu itu ada jeno yang berbaik hati menjelaskan kepada sang ayah bahwa ia tengah tersesat -dengan sengaja harusnya, ke rumah jeno dan tak dapat pulang jika tidak ditemani oleh bocah pucat itu. Dan juga betapa senang hatinya ketika jeno memberikan punggungnya sebagai tumpangan dirinya yang sedang dilanda kemalangan itu. Lihatlah, sedari kecil saja lelaki itu sangatlah baik hati. Padahal ia yakin kaki kurusnya saja sebenarnya tak begitu kuat menopang tubuh pucatnya itu, namun ia tetap saja mengorbankan diri untuk membawanya dalam gendongannya di jarak yang lumayan jauh.

"ren, mau bareng ga?"

"kalo aku nebeng, aku mau duduk dimana?"

"duduk di ban aja. Badanmu kan kecil"

"ish! Awas kamu ya!"

Renjun kembali terkekeh begitu dirinya mengingat kenangan mereka di sekolah menengah pertama, dimana jeno menghampirinya dengan sepeda miliknya untuk ditumpangi bersama dengan dirinya yang tentu saja dibalas dengan kerutan dahi, sebab sepeda berwarna abu abu itu tidak memiliki kursi penumpang. Tadinya ia ingin menolak ajakan jeno, namun untunglah ia urungkan. Tak dapat ia bayangkan betapa menyedihkannya ia ketika tak dapat merasakan kenangan indah mengendarai sepeda dengan jeno sepulang sekolah di panas terik yang begitu menyengat kulit.

MIGNONETTE (KEMBANG DESA) || NOREN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang