"Bangsat lo emang!"
Saka mendongak mendengar teriakan keras di ambang pintu. Dia melihat Dirga dan Ringgo memasuki kelas. Pun, diikuti dengan teman-temannya yang lain.
"Kalau mau bolos upacara bilang ngapa, Ka!" omel Dirga setelah cowok itu mendekat pada Saka. Dia menenggak rakus air mineral gelas di tangannya. "Tiap senin pidatonya Pak Memet makin ngadi-ngadi! Ada .... aja yang dibahas. Yang bikin gedek tuh, pembahasan minggu lalu ikut dibahas lagi. Dia bahkan nggak peduli sama cewek-cewek yang berjatuhan pingsan saking lamanya dia pidato!"
Saka menghela napas. Sedang malas menanggapi omelan Dirga. Saat ini dia tengah menenangkan dirinya sendiri. Sejak tadi, setelah kembali dari UKS, Saka tak henti berpikir keras.
Mengapa bisa dia lepas kendali hanya karena melihat Lara menangis?
Mengapa bisa sisi menakutkan yang sudah lama ia coba hilangkan dalam dirinya selama ini kembali keluar saat dia melihat Lara terluka?
Dan, mengapa Lara bisa dengan begitu mudah memengaruhi emosinya?
Lara siapa?
"Tama mana?"
Saka mendongak, terkesiap dari lamunan. Dia bahkan baru menyadari Tama tak ada bersama mereka. "Nggak sama lo pada?"
Dirga mendengus keras. Menghempaskan bokongnya pada kursi, ia memicing saat menatap Saka. "Jadi dari tadi dia nggak balik ke kelas?"
"Nggak."
"Udah gue duga. Si Tama gayanya doang ngebantuin. Aslinya pengen cepet-cepet minggat dari upacara!" Dirga melirik Ringgo yang duduk mengipasi tubuh pucatnya dengan buku. "Bener, kan Go kata gue? Itu bocah ngambil kesempatan dalam kesempitan. Mana kelakuan dia tadi bikin murid cewek-cewek di lapangan jejeritan. Lagi pula, mana ada ceritanya Tama si kaku itu bantuin cewek terang-terangan kayak tadi."
Ringgo mengangguk, setuju pada omelan Dirga. Dia menatap Saka. "Lo nggak nengokin Rea, Ka?"
Saka mengerutkan dahi bingung. "Rea? Kenapa?"
"Kan, Rea yang dibawa Tama ke UKS tadi. Pingsan kelamaan upacara."
"Alasan Tama doang itu! Dia mau bolos sendirian ninggalin kita berdua!" sahut Dirga bersungut-sungut pada Ringgo. Dia berpindah duduk ke mejanya. "Buktinya, pas kita-kita mau ikut bantuin gendong Rea nggak dibolehin. Ngamuk! Padahal juga anak PMR ada banyak tuh, selalu siap sama tandu mereka. Si Tama aja ngotot mau bawa sendiri. Alasan, taik! Dia mau bolos kayak Saka!"
Saka tertegun. Tama? Bukankah Tama tidak suka disentuh perempuan? Bukankah Tama tidak pernah mau berurusan dengan perempuan? Bukankah Tama paling membenci ruang lingkup pergaulannya dimasuki makhluk berjenis kelamin perempuan? Tapi, mengapa sekarang Tama ...,
Sejenak, Saka teringat akan dirinya sendiri. Mungkinkah ini yang dinamakan suka seperti kata Dirga? Apa dia dan Tama memang sedang jatuh cinta?
Ah, tidak mungkin!
Kenapa rasanya terdengar menggelikan sekali?
Menjijikkan!
Tapi, mengapa pula Saka sampai memberikan sabuk miliknya pada Lara? Padahal, para pemegang sabuk hanya boleh memberikannya pada cewek yang ingin dilindungi oleh Thanatos.
Sebab, sudah menjadi kesepakatan resmi antar geng-geng besar untuk memiliki ciri khas tanda khusus selain jaket. Tidak gelang, cincin, topi, pin, bandana, dan masih banyak lagi. Sedangkan, Thanatos memilih sabuk hitam bersulam emas dengan ciri tiga binatang buas sebagai tandanya.
Tanda-tanda setiap geng ini boleh diberikan oleh setiap anggota pada seorang perempuan yang ingin dilindungi. Tidak adik, saudara, sahabat, atau pacar sekalipun. Sebab, sebesar apa pun permusuhan, atau sehebat apa pun bentrok antar geng yang kelak mungkin akan terjadi, perempuan yang memiliki tanda-tanda ini tidak boleh disentuh, apalagi disakiti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sangsaka
Teen FictionBagi Sangsaka, dari banyaknya manusia ciptaan Tuhan, hanya dirinya saja yang mendapat rahmat kesempurnaan wajah tampan. Yang lain? Tidak usah dijelaskan, kasihan. Sangat mencintai kesempurnaan dan membenci kekurangan. Apalagi, jika kekurangan itu a...