34. Jangan Takut Lara

9.6K 1.2K 677
                                    

"Saka melirik Lara yang kini hanya diam menyaksikan dirinya bermain basket seorang diri di lapangan samping rumah. Berhenti mendribel bola, Saka beralih menatap Lara. "Ra?" panggilnya.

Lara terkesiap. Mengerjap mata. "Manggil, Ka?"

Saka menghela napas lelah melihat respon Lara. Setelah melempar bola ke dalam ring, Saka mendekati cewek itu. Membiarkan begitu saja bolanya menggelinding menjauh. Tanpa kata, dia duduk berselonjor di lantai seraya merebahkan belakang kepalanya di paha Lara yang tengah duduk di kursi. Dia mendongak menatap Lara. "Capek," katanya.

Lara tersenyum tipis. Mengusap keringat di kening Saka. Bahkan rambut legam dan kaus hitam tanpa lengan cowok itu tampak lepek, amat basah karenanya. Namun, Lara tak jijik sama sekali. "Mau minum?"

Saka memejamkan mata erat. Berusaha mengontrol napasnya yang masih menderu. Lesu. "Nanti aja. Rebahan bentar."

Lara mengangguk sekilas. Tersenyum tipis saat mengusap wajah Saka dengan handuk kecil yang sejak tadi dia bawa. Setelahnya, dia menyentuh rahang Saka, menunduk mencium kening cowok itu cukup lama. Entah mengapa dan entah darimana datangnya, mendadak bayangan berpisah dari Saka merecoki pikirannya. Lara takut. Amat takut berpisah dengan Saka. "Gue sayang lo Saka."

Saka membuka mata, terkejut bukan main. Napasnya yang sempat menderu sesak karena bermain basket, kini tambah sesak setelah dicium Lara. Bergetar tulang, bahkan jantungnya ikut berdebar kencang. Kaku, Saka menggenggam tangan Lara yang masih membingkai rahangnya. Mendongak, balas menatap Lara yang amat lekat menatapnya.

"Ra ... lo cium gue?"

Lara mengangguk cepat. "Iya. Nggak boleh?"

"Nggak. Cuma kaget aja."

"Lo nggak bakal ninggalin gue kayak cerita Wattpad, kan, Ka?"

Saka mengerutkan dahi bingung. "Ninggalin?"

Lara mengangguk. "Iya. Gue nggak siap ditinggalin lagi. Jangan mati, ya?"

"Lah," Saka meneguk ludah ngeri. Bingung harus bereaksi seperti apa.

"Jangan selingkuh juga. Gue nggak mau ditinggalin. Nggak suka pelakor."

Saka mendecak lidah. "Nggak bakal, Lara. Gue janji sama lo. Lagian gue yang paling benci adanya pelakor di hubungan kita. Gue minta lo sabar ngadepin para pelakor, atau bila perlu singkirin mereka semua, ya? Soalnya gue ganteng banget, nggak mungkin juga mereka nggak suka."

Lara menggelengkan kepala. Kembali menunduk mencium kening Saka sampai membuat cowok itu terpejam dengan jantung berdebar kencang. "Sayang Saka banyak-banyak. Ganteng banget gila."

"Lo nggak papa, kan, Ra?" tanya Saka ragu. Dia menatap Lara ngeri. Pasalnya, Lara tak pernah seperti ini. Sekalinya pernah, waktu itu pun karena efek Lara sakit. "Lo nggak sakit, kan?"

"Nggak, kok. Gue cuma baru sadar aja kalau lo ganteng banget. Hehehe."

Maka kali ini Saka tersedak ludah sendiri mendengar pujian Lara. Bukan! Bukan dia tak suka. Hanya saja dia merasa ... malu. Mengulum bibir, Saka menghindari mata Lara yang tak henti menatapnya.

"Panas, ya?" tanya Lara. Cengengesan. "Wajahnya merah. Tambah gemoy, ih."

"Terserah, deh," ucap Saka sok cuek. Benar-benar tak bisa menerima pujian Lara. Terlalu ... mengerikan.

"Nanti antar pulang, ya? Takut Bang Lakna marah."

"Iya. Udah makan malam, ya? Tanggung. Udah sore ini."

"Iya," jawab Lara. Tak sama sekali membantah. Lagi pula, sekarang sudah sore, sebentar lagi magrib. "Em, Ka. Gue boleh ikut nggak?"

"Ke mana?" tanya Saka bingung. Tangannya terangkat, menyelipkan anak rambut Lara ke belakang telinga cewek itu. Tak berniat bangun, karena terlalu nyaman merebahkan kepala di paha Lara.

SangsakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang