20. Saka dan Sabuk Elang

12.9K 1.7K 517
                                    

Lara mendesah kecewa. Teringat kemarin dia gagal melihat papanya karena Lakna dan Laksa mendadak pergi ke Bandung bersama Ayah Maldeva.

"Neng, SMA Seventeen, ya? Ini udah di haltenya, nih."

Lara menoleh. Pagi ini, bahkan dia harus naik angkot untuk bisa ke sekolah. Sangat jarang, bahkan tidak pernah dia lakukan, karena terbiasa berangkat bersama Laksa, atau diantar Lakna. Tadi Lakuna ingin mengantarnya, tapi dia tolak. Dia tak ingin merepotkan Bunda Lakuna.

"Oh, iya, Pak," katanya. Baru sadar jika kini dia sudah di depan halte. "Ini beneran halte SMA Seventeen, Pak? Masih jauh nggak, sih dari sini SMA-nya?"

"Deket kayaknya, Neng. Ini halte persimpangan antara SMA Seventeen sama SMA Sepuluh. Seventeen kanan, Sepuluh kiri. Jalan bentar sampe."

Lara mendesah pendek. Dia bahkan baru sadar jika dua orang cewek yang naik angkot bersamanya itu adalah anak SMA Sepuluh. "Kenapa nggak langsung ke SMA Seventeen aja, Pak?"

Pak Supir menggeleng. "Angkot nggak boleh masuk sampe area SMA Seventeen, Neng."

Lara mengangguk. Ia mengeluarkan uang pecahan sepuluh ribu. "Sepuluh ribu, Pak?"

"Anak sekolah lima ribu, Neng."

Lara mengernyit. Lima ribu? Buset. Kok murah?

"Ini sepuluh ribu aja, Pak. Tempat saya tadi, kan jauh."

"Oh, makasih, atuh, Neng."

Lara mengangguk seraya turun dari angkot. Dia sampai meringis melihat halte yang sepi. Hanya ada tiga orang cowok dengan seragam SMA Sepuluh yang sedang berdiri dan merokok. Oke, Lara ingat jika ini hari senin. Pasti murid-murid sudah ke sekolah untuk upacara.

Melihat dua murid SMA Sepuluh yang di angkot bersamanya tadi berlari ke arah kiri, maka Lara dengan segera berjalan ke arah kanan.

"Telat?"

Lara terkesiap saat seorang cowok bertanya padanya. Dia sampai was-was saat cowok tinggi dengan rokok menyelip di bibirnya itu mendekat. Namun, demi kesopanan, Lara menyengir. "Iya. Hehehe. Duluan, ya."

Namun, belum sempat dia berlari. Tas punggungnya sudah lebih dulu ditarik. Dia menoleh, "Kenapa, ya?"

Cowok itu menyeringai. Meminta kedua temennya mendekat. Dia memperhatikan seragam Lara, tersenyum sinis setelahnya. "Anak Seventeen, huh?" katanya. Lantas, meniupkan asap rokoknya pada wajah Lara, membuat cewek itu terbatuk-batuk.

Lara gemetar saat tasnya ditarik paksa hingga dia ikut terseret. "Kenapa, ya? Gue salah apa?"

Cowok sedikit kurus itu menyeringai. "Salah lo, berhenti di halte ini. Ini bukan halte sekolah lo."

"Tapi, kata supir angkot tadi ini halte antara Seventeen sama Sepuluh," jawab Lara mencicit. Dia berontak keras saat kedua tangannya ikut di genggam erat. Demi Tuhan, dia takut.

Cowok itu menggeleng. "No! Ini halte SMA Sepuluh. Halte SMA Seventeen masih jauh dari sini."

"Tapi, kata ...,"

"Nggak usah ngejawab!" bentak cowok itu. "Lupa, kalau Seventeen sama Sepuluh nggak akur, hah?"

Lara terkesiap. Dia tidak tahu sama sekali berita ini. "Emang musuhan, ya? Sejak kapan?"

"Sejak dulu! Sejak Thanatos cari ribut sama Carviar!"

Lara meneguk ludah. Thanatos? Gengnya Saka?

"Berarti bukan SMA-nya, dong. Gue, kan nggak tahu apa-apa," kata Lara mencoba berdamai dan mengulur waktu. Ah, semoga saja ketiga cowok sedikit cakep ini tidak macam-macam padanya. "Gue nggak tahu apa-apa. Sumpah!"

SangsakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang