(Not) Free

72.2K 3K 49
                                    

Sean's POV

Senyum lebar tak henti-hentinya merekah di bibirku. Bagaimana tidak, setelah bertahun-tahun penantianku terhadap wanita yang kucari di dunia ini akhirnya membuahkan hasil. Sekali lagi senyuman lebar terkembang di bibirku. Dia begitu sempurna. Gadis yang tertidur di pelukanku ini begitu sempurna.

Matanya yang selalu bersinar benar-benar menunjukkan kharismanya sebagai seorang perempuan baik yang cocok menjadi pendamping hidup monster sepertiku.

Kulit kuning langsatnya membuatku berpikir mungkin ia orang Asia. Luna Kara, nama yang begitu agung terdengar di telingaku. Aku ingin segera menandainya sebagai milikku sebelum ada biadab lain yang merembut perempuan ini dariku.

Aku mencumbu puncak kepalanya dengan sayang bagaikan ia dapat terpecah berkeping-keping bila aku memperlakukannya dengan kasar.

Karalina Sayangku, tidak ada yang boleh menyentuhnya selain diriku. Tidak ada yang memiliki dia seutuhnya selain diriku. Bibir tipis merah muda menggodanya membuat 'milikku' di bawah sana lagi-lagi mengeras.

Aku memejamkan mataku mencoba menjernihkan pikiran. Tentunya aku tidak boleh bertindak gegabah, siapa tahu gadisku ini belum siap dengan aksiku selanjutnya. Dari parasnya saja aku bisa menebak gadisku ini baru di awal 20an nya, lalu apa yang ia lakukan di East Wolf? Apa yang ia cari disini?

Untungnya aku punya cukup kuasa sehingga dapat menemukan bedebah yang menyakiti gadisku! Troy, salah satu penjaga perbatasan bodoh itu! Kupastikan ia akan mendapat balasan yang lebih menyakitkan atas perbuatannya menyakiti gadisku. Akan ku atur pembunuhan paling menyiksa yang pernah ada dan mempertontonkannya di depan seluruh pack East wolf ini.

"Emhh...." erangan Kara membuatku cepat-cepat berpura-pura tertidur, tanganku melingkari pinggang langsingnya dan kepalaku beristirahat di dekat dadanya.

Tak lama kurasakan kesunyian sebelum sebuah tangan halus dan lentik mengusap pelan kepalaku. Gerakannya begitu lembut dan memuja, membuatku terbuai dan semakin menyurukkan kepalaku di dadanya. Tawa halus terdengar di indra pendengaranku.

"Kau menikmatinya." ujar Kara masih membelai kepalaku. Aku hanya bergumam kecil di dadanya, begitu terbuai dengan belaian gadisku ini sampai belaian itu berhenti. Aku mendongakkan wajahku.

"Kenapa berhenti, Sayang?" tanyaku dengan alis bertaut dan ciuman ringan di bibirnya. Kara balas melumat bibirku sebelum menariknya kembali dan menatapku sendu.

"Aku butuh penjelasan." ujarnya singkat padat dan jelas.

"Kurasa ini terlalu pagi untuk membicarakan masalah itu," balasku dan mengecup bibirnya lagi, "Ada yang kau pikirkan?" tanyaku ketika melihat gadisku itu menautkan alisnya berpikir keras.

"U-um.. itu. Kau pernah berkata sesuatu tentang 'menandaimu'. Maksudmu apa waktu itu?" tanya Kara dengan wajah bingung. Aku tertawa geli dalam hati.

"Berapa umurmu, Sayang?" tanyaku geli

"Eh?"

"Ya, umurmu. 20 atau 21 atau mungkin 19?" tebakku menciumi leher dan bagian teratas dadanya.

"Hah?! Aku 25." ujar Kara membuatku menghentikan aktivitasku.

"Yang benar saja." balasku sedikit tidak percaya sekaligus geli menatap wajah garangnya yang sama sekali tidak garang.

"Seriusss, Sean." rengek Kara manja.

"Aku tidak menyangka. Bahkan kukira gadisku ini belum puber." candaku menggoda Karalina yang semakin sebal.

"Kurang ajar! aku sudah puber," protesnya lagi membuatku tertawa lebar. Awalnya tak ada yang bisa membuatku tertawa selepas ini. "Sudahlah, tutup mulutmu itu nanti lalat masuk!"

"Ok, Ok," aku mencoba fokus dan menjelaskan 'hal itu' pada gadisku yang ternyata polos ini, "Menandai maksudnya adalah menjadikanmu milikku sepenuhnya."

"Milikmu sepenuhnya? Maksud.. eh, caranya bagaimana?" tanyanya dengan polos membuatku tertawa lebar sekali lagi.

"Hubungan intim itu." ujarku blak-blakkan. Reaksi yang diberikan gadisku membuat perutku lagi-lagi terkocok. Matanya membelo sempurna, mulutnya menganga lebar dan ia tak berkedip sedikitpun.

"Sudahlah, tutup mulutmu itu nanti lalat masuk!" balasku mengikuti ucapan Kara sebelumnya. Kara menggembungkan pipinya lucu dan menyurukkan wajahnya lagi di dada bidangku. Sebelumnya kulihat pipi indah itu bersemu merah.

****
Kara's POV

Aku tidak tahu bagaimana tepatnya perasaanku pada Sean. Aku memang menganggap ia belahan jiwaku, sama seperti dia yang menganggapku sebagai pendamping hidupnya.

Sampai sekarang pun aku masih belum bisa percaya apa aku sedang di dunia nyata. Bayangkan saja, novel werewolf dan film-film serigala ternyata benar! Manusia serigala memang benar-benar ada!

Seharusnya aku takut saat ini, tapi entah mengapa aku malah bahagia tak terkira. Aneh, memang.

"Sean, aku akan kembali ke desa siang ini." ujarku seusai mengelap mulutku dengan sorbet. Sarapannya sangat mengesankan, aku merasa seperti putri raja di sini.

"A-apa kau bilang?" Sean sedikit tersedak minumannya, suaranya masih tetap stabil namun aku dapat mendengar keterkejutan disana.

"Aku akan kembali ke desa," aku mengulangi ucapanku lagi, "lagipula sudah seharusnya aku melayani orang-orang yang sakit di sana."

"Tidak." ujarnya mantap, "Kau tetap di sini. Selamanya akan tetap di sini." ucapannya penuh penekanan.

"Kau bilang selamanya?" tanyaku ulang berusaha memperjelas ucapannya.

"Ya, selamanya di sini bersamaku." balasnya penuh penekanan. Aku hanya tertawa sinis tidak mungkin ia dapat memenjarakanku di tempat membosankan dan menakutkan ini selamanya. Aku bisa gila!

"Tidak, Sean! Aku sudah menjelaskan siapa diriku dan apa yang aku lakukan di negara ini! Aku tidak pergi berjuta kilometer dari Indonesia hanya untuk dikurung di sebuah kastil tua!" protesku marah, Sean terlihat terpengaruh. Matanya berkilat marah dan ia menggebrak meja makan dengan keras sampai beberapa pelayan di sekitar kami berjengit kaget.

"Kau kira aku tidak menceritakan semua tentangku? Kau bilang kau mengerti dan akan mencoba mencintaiku semalam! Aku bahkan menunggu bertahun-tahun untuk bertemu dirimu, Kara!" Teriak Sean, dia benar-benar kehilangan akal sehatnya ketika ego merajai.

"Aku bisa kembali setiap saat ke kastil ini, Sean." ujarku mencoba melembut, Sean memejamkan matanya beberapa saat dan duduk kembali di tempat duduknya di sebrangku dan mengacak rambutnya frustrasi.

"Kita tidak akan pernah tahu ada penjahat macam apa di luar sana! Kita bahkan baru bertemu beberapa hari! Tinggalah disini. Tetap disini. Jangan pernah meninggalkan kastil ini!" bentaknya lagi, Sean menganggapku sebagai seorang perempuan yang lemah dan penakut, aku melihat itu di balik caranya menatapku.

"Asal kau tahu saja aku tidak selemah-"

"KAU LEMAH! KAU LEMAH DAN SENDIRIAN DI SINI, KARA! INGAT ITU!" teriaknya penuh amarah, matanya berubah warna kembali menjadi merah darah. Ia beranjak dari kursinya dengan kesal, melangkah keluar dari ruang makan dengan mata nyalang itu.

Aku ingin memanggilnya kembali, tapi tidak. Ego-ku juga sama tingginya dengan Sean. Aku memang sudah mengerti tentang 'mate stuff' bagi kalangan werewolf di dunia ini tapi bukan berarti dia bisa mengekangku seperti itu.

Bagaimanapun juga, aku manusia biasa yang ingin kebebasan. Aku ingin mengerjakan apa yang aku suka, melakukan yang aku inginkan dan pastinya aku ingin kembali ke keluargaku di kampung halaman. Aku merindukan mereka; Ibuku, Ayahku, Adikku dan teman-temanku.

Aku ingin bebas dan lepas dari kastil tua ini. Aku tentunya lebih memilih keluargaku daripada Sean. Dia belum begitu berarti bagiku 'sampai saat ini'.

Dia tidak ada hak untuk mengekangku!

Sampai argumen di otakku ini terjawab, sebuah borgol besi membelenggu kedua tangaku yang semakin ringkih.

"AAAAARGH!"

.

.

.

double updates? yay!

My Possessive Alpha [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang