Author's POV
Perempuan itu duduk dengan pandangan kosong di sebuah kursi kayu yang empuk. Kamar mewah yang ditempatinya tidak membawa pengaruh apapun bagi Kara.
Hampir 3 minggu dia terjerat di kamar berornamen emas dan berisi perabotan mahal yang begitu glamor itu, namun tak ada satu barang ataupun 'orang'pun yang dapat mengembalikan kesadarannya. Mata coklat yang biasanya selalu berbinar itu begitu redup saat ini, hanya menatap taman belakang kastil East Wolf yang tersembunyi.
Selama berminggu-minggu, fokus pandangan perempuan itu hanyalah barisan bunga-bunga cantik yang terlihat begitu bebas di alam luas ini. Bebas, satu-satunya hal yang ingin perempuan itu rasakan. Tentunya ia merasa tidak bebas di bawah belenggu kamar mewah yang menor tersebut, juga borgol besi yang menjerat pergelangan tangannya.
Sesekali pelayan datang menyuapinya makanan yang terlihat begitu menarik, tapi begitu campah ketika makanan itu memasuki mulutnya. Bahkan, Sean, sumber masalah di diri perempuan itu menyempatkan seluruh waktu luangnya di kamar ini, menemani gadisnya yang tidak peduli lagi. Gadisnya sudah muak dengan sikap lelaki itu.
"Di saat aku sudah menganggapmu 'teman' beberapa waktu yang lalu, sekarang aku benar-benar menyesalinya. Aku muak melihat wajahmu, lebih baik kau pergi atau lepaskan aku." itulah ucapan terakhir Kara yang penuh penekanan kepada Sean yang berujung kemarahan lain di diri lelaki itu. Sejak saat itu pula, Kara menutup mulut dan telinganya terhadap dunia di sekitarnya.
Hanya kupu-kupu yang hinggap di setangkai bunga, dan burung yang terbang di angkasa yang menjadi perhatiannya.
****
Sean's POV
Aku mengacak rambut dan mengerang kesal. Meja kerjaku sudah berantakan dengan kertas-kertas yang terobek ataupun pecahan beling yang entah kapan aku banting.
Perempuan itu memang benar-benar membuatku pusing! Apa sulitnya untuk tinggal di sini bersamaku?! Apa dia tidak sadar aku mencoba untuk melindunginya?! Bahkan dia sendiri yang berujar untuk mencoba mengerti keadaan diriku dan takdirnya sebagai Luna. Ternyata semua ucapannya hanya omong kosong!
Sekali lagi aku membanting guci yang berusia ratusan tahun di dekatku sampai pecah berkeping-keping. Geraman tertahan keluar dari mulutku, menahan emosiku yang menyulut entah kepada siapa. Keadaanku selama 3 minggu ini begitu kacau, walaupun aku baru bertemu Kara tak sampai sebulan, tetapi ikatan antara aku dan dia begitu kuat, aku bisa merasakannya setiap aku menatap mata coklat jernih itu ataupun berada di dekatnya.
Argh! Mata coklat itu sekarang begitu kosong dan hampa! Aku ingin mengembalikan binar di sana tapi tak bisa, aku tidak tahu cara membuat gadisku sendiri bahagia.
"BODOH!!" Teriakku tepat saat pintu kantorku terbuka, menampilkan Robbert, Beta atau wakilku sebagai Alpha.
"Alpha Sean, kurasa kau butuh semua informasi yang kudapatkan," ucap Robbert setelah menunduk padaku, aku hanya membalas dengan anggukan kecil mungkin Robbert semakin prihatin dengan keadaanku saat ini sehingga keningnya terus saja berkerut.
"Ada sekelompok Rogue yang didapati sedang memata-matai kita dan salah satu mata-matanya merupakan orang dalam di kastil ini," jelas Robbert, aku hanya mengangguk kecil lagi, paling itu kelompok kecil nekat yang sama seperti kelompok-kelompok lainnya yang sudah aku musnahkan dengan mudah.
"Dan Victoria, adikmu serta Luna Daniella, ibumu, berencana akan datang ke kastil ini lusa." mataku terbelalak tidak percaya, tanpa terasa tanganku terkepal di atas meja.
"Ada apa mereka kesini?" tanyaku yang terdengar seperi geraman, Sialan!
"Mereka berkata hanya ingin makan malam di sini, menyapa bagian dari keluarga Wayne." lanjut Beta-ku dengan wajah jijik, Robbert memang mengerti siapa si licik Victoria dan si keji Daniella, tak peduli walaupun aku setalian darah dengan mereka.
"Kau urus kelompok Rogue itu! Geledah semua orang di kastil ini! Dan hancurkan saja kelompok kecil itu bila kalian sudah tahu lokasinya." ujarku geram, "Dan biar aku yang urus Tori juga Dani! Sementara itu aku ingin menjernihkan pikiranku sekarang." tegasku dan meninggalkan ruangan kerjaku, melangkahkan kaki panjangku ke sebuah ruangan di mana separuh jiwaku duduk dengan pandangan sendunya dan berharap ia mengerti hati dan perasaanku.
Namun kali ini berbeda, tetesan air mata terjatuh lagi dari iris coklat itu... dan satu pisau tajam terasa tertancap begitu dalam di hatiku.
****
Kara berdiri tegak menghadapku, borgolnya sengaja kulepas. Tidak ada lagi tatapan kosong seakan menyerah pada dunia itu, pandangannya penuh emosi yang meradang.
"Kau...," desis Kara dengan geram, aku hanya berdiri tegak di depannya. Tangan gadis itu terkepal erat.
Plakkk.
Sebuah tamparan telak mengenai wajahku. Kugenggam kedua tangannya ketika satu tamparan lagu hampir melayang ke pipi kiriku.
"BERHENTI!" bentakku marah, Kara tak bergeming, ia masih tetap menatapku tanpa memalingkan wajahnya, "SEKALI LAGI KAU LAYANGKAN TANGANMU KE-"
"APA?! Apa yang akan kau lakukan jika tanganku menamparmu sekali lagi?! Semua orang berkata kau kuat, apa sebuah tamparan dari perempuan terpenjara dan menyedihkan sepertiku bisa membuat pipimu kesakitan!!?" genggaman tanganku terlepas pada pergelangan tangannya, mataku membelalak tak percaya dengan kenyataan pahit yang gadisku teriakkan.
Apa tamparan dari tangannya menyakiti fisikku? Tidak. Hatiku lebih tergores dalam daripada kulit yang menutupi daging ini.
"Bisakah kita bicarakan ini baik-baik?" tanyaku berusaha mengendalikan emosi, padahal kesan otoritas terdengar begitu jelas di kalimatku itu.
"Hh! Baik-baik katamu!!? Biar kuberi tahu apa yang baik buatku! Pulangkan aku ke desa dan aku akan terbang kembali ke negaraku SECEPATNYA! Kau bisa melupakanku dan aku bisa bebas tanpamu!"
"Melupakanmu?! AKU TIDAK BISA MELUPAKANMU, MENGERTI?!" bentakku marah sambil menjenggut rambutnya dan mendorong paksa kepalanya mendekatiku. Napas gadisku terengah ketika menerpa leherku, matanya berkilat marah sekaligus takut.
"Aku muak. Aku benar-benar menyesal berkata akan mengerti dirimu. Kau benar, kau memang monster tak berhati! Makhluk yang hanya mementingkan keinginan kalian sendiri, yang tak peduli pada perasaan orang lain!" dengusnya lirih,
"Kau bahkan tidak tahu seberapa tersiksanya aku di sini, berada jauh dari orang yang kusayangi, dan di klaim dengan 'sesuatu' yang aku benci, bahkan berulang kali berada di ambang kematian, kau tahu betapa tersiksanya aku? Kau tidak pernah mengerti, Sean! Karena kau tidak pernah peduli!"
Kurasakan mataku meradang merah, menatap gadis yang begitu kusayangi melebihi apapun di dunia ini mengatakan penolakan yang begitu mutlak di hadapanku. F*CK!
"Apa yang kau tahu tentangku, Kara!Kuakui aku tidak mengerti perasaanmu sampai kau mengucapkannya padaku barusan," napas kami saling menerpa satu sama lain,
"Tapi kau salah, Aku. Peduli." ujarku penuh penekanan dan mendorongnya jatuh ke ranjang.
.
.
.
di mulmed ada marilhea peillard as kara (omg shes so damn perff ) nd whoa ada 3 pemain baru yg bakal dateng :d
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Alpha [ON HOLD]
WerewolfKaralina Wiratama, seorang dokter muda keturunan Indonesia-Yunani memutuskan untuk menjalankan tugasnya di East Wolf. Beberapa keanehan sering terjadi di sana sampai semua rahasia itu terkuak dan kenyataan bahwa ia harus menjadi pendamping Sean, san...