Kara's POV
Bibir tipisnya menekan keras bibir ku yang sedikit pucat saat ini. Tangan kirinya bergerak di area pinggangku, berusaha menyelusup masuk ke baju tipis yang kupakai. Sedangkan tangan kanannya melingkari badanku posesif.
Lelaki bejat ini mencuri keperawanan bibirku!
Tapi aku tak bisa bergerak, badanku terasa terbang dan patuh pada tuntutan bibirnya yang agresif. Dia seolah-seolah memakan bibirku. Sesekali gigitan kecil tertinggal di sudut-sudut bibirku.
Aku membuka mulutku meraih udara untuk mengisi paru-paruku yang kekurangan pasokan oksigen. Dengan terengah lelaki itu malah menyeruakkan lidahnya ke dalam mulutku, melumat dan menarik lidahku sesuai irama.
Tanganku tanpa kusadari sudah melingkari lehernya. Adam's apple lelaki ini terlihat begitu gentle dan ikut bergerak turun-naik, sinkron dengan gerakan bibir merahnya yang masih melumat bibirku lapar. Tangan besar itu sudah masuk sempurna ke baju kaus ku, dan aku tersadar.
Kudorong bahunya sekuat yang aku bisa. Aku terhuyung ke belakang bersandar di tiang kematian tadi.
Mata lelaki itu berubah merah darah kembali, menatapku marah. Kepalaku berputar, pusing dan tidak mengerti apa yang terjadi. Apa aku sudah gila sekarang?!
"AAAAGHH!!" teriakku frustasi dan terjatuh ke tanah lantaran kakiku yang tak dapat menahan berat badanku lagi. Kepalaku terasa begitu berat dan dunia seakan terus saja berputar.
HENTIKAN!!! protes otakku lagi.
Tak lama kurasakan tangan kekar menarikku ke rengkuhannya. Tepat detik itu pula dunia seakan berhenti. Rasanya seperti hidup tanpa beban. Pupil mataku membesar sesuai mata tajam lelaki itu berubah warna. Biru laut yang menenangkan, bak gelombang tenang di pantai terpencil.
Rengkuhannya dan pandangan matanya mengantarkan gelombang hangat di sekujur tubuhku. Pandangan mata kami terus saja bertubrukan seakan tak ada yang dapat mematahkan momen ini. Lengannya semakin erat merengkuhku sampai segaris senyum tak terasa tersungging di wajah tampan dan tegasnya.
"Love you," desahnya selembut terpaan angin di sebuah ladang pada. Aku ingin membalas ucapannya dengan kalimat tanya penuh kesinisan, tapi yang keluar dari mulutku hanya erang kesakitan.
"Hold on, babe." lelaki itu mengecup singkat keningku dan kurasakan tubuhku terangkat dari tanah, masih di pelukan eratnya. Lelaki itu menggendongku masuk ke bangunan besar ini, melewati lautan manusia yang masih ternganga.
Mata birunya memancarkan kekhawatiran. Dia... khawatir?. Aku dengan cepat mengenyahkan pikiran itu dan menyurukkan wajahku di lekukan lehernya. Aah lelaki ini begitu hangat! Kulihat sebuah senyuman tersungging lagi di bibirnya, dan kali ini, aku ikut tersenyum.
****
Jahitan terakhir di bagian pinggangku sekarang sudah terjahit dengan rapi. Dari tadi aku menahan tangis tapi apalah aku berusaha menahan jarum yang menembus kulitku itu.
Tapi, lelaki itu selalu berada di sampingku, memegangiku dan memperbolehkanku menenggelamkan wajahku di lekukan lehernya, bahkan sekali-dua kali ia mengecup bibirku; mengantarkan keberanian di diriku. Matanya kala itu berwarna kuning terang dan geraman menahan amarah sering kali keluar dari bibirnya.
"Kupastikan makhluk yang membuatmu seperti ini akan mati dengan jalan yang menyakitkan!" geramnya marah seraya menurunkanku dari ranjang 'rumah sakit'.
Aku tergugup sendiri, mengalihkan pandanganku ke lantai daripada melihat mata kuning nyalangnya itu.
"Tatap aku," perintah lelaki itu tapi aku mengabaikannya, "Kubilang tatap aku!" kali ini suaranya penuh penekanan yang mau tak mau membuatku menatap matanya.
Hatiku berdesir dan bergejolak di dalam sana. Darahku terpompa lebih cepat. "Jangan." ujarku spontan dan... bodoh.
Iris biru laut itu kembali terpampang di wajahnya, menampilkan kelembutan dan pandangan penuh kasih sayang padaku, "Jangan apa, Sayang? Katakan padaku."
"Jangan bunuh siapapun orang itu." balasku penuh keyakinan yang entah kudapat dari mana. Lelaki itu mendekatkan dirinya sampai hidung kami bersentuhan.
Geraman tertahan keluar dari mulutnya, "Akan kupikirkan jika aku tahu namamu, kitten."
"Karalina," matanya membesar, "namaku Karalina."
"Fuck. You're so damn beautiful, Kara. And you're mine. Only mine." tangannya menjelajahi pipiku meninggalkan satu kecupan ringan di keningku yang berkerut tak mengerti.
"Who are you?" tanyaku membuat sebuah senyum miring tersungging di bibirnya dan suara tawa yang mengalun merdu terdengar. Dammit.
"Sean Wayne dan aku Alpha-mu." jawabnya enteng.
"Sean." ulangku tanpa sadar saat kami berjalan di koridor yang begitu panjang entah kemana. Geraman tertahan itu terdengar sekali lagi dai mulutnya, genggaman Sean di tanganku semakin erat seakan aku akan berlari jauh darinya.
"Hhh. Kau berusaha menyiksaku ternyata." ucapnya sambil menghembuskan napas kasar.
"Apa maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.
"Sepertinya kau memaksaku untuk menandaimu secepatnya."
"Apa maksudmu? Aku benar-benar tidak mengerti ini semua!" kali ini aku membentaknya.
"Jangan pernah berteriak begitu padaku!" raungnya marah dengan suara yang begitu besar sampai aku berharap untuk tuli beberapa saat.
Air mataku dengan bodohnya kembali terkumpul di kelopak mataku. Jujur, aku bukan termasuk tipe perempuan yang senang menyelesaikan masalah dengan tangisan dan air mata, tapi berada di sekitar Sean, rasanya aku begitu lemah. Lemah karena adanya dia yang menjadi kuatku, menjadi tamengku.
"God!" desahnya frustasi, tangan kekarnya meremas pundakku dengan erat sampai aku mengaduh sakit. Tatapan matanya menyiratkan khawatir dan rasa sayang yang begitu dalam.
"Kara Sayang, kau itu bagaikan air di nerakaku, ok? Kau ditakdirkan menjadi pendamping hidupku. Menjadi pemimpin di kaumku. Kau mate-ku. Segala yang kau miliki di tubuh indahmu itu adalah milikku," dia menarik napas dalam, "Takdir menakdirkan kita bersama, kau tak bisa melawannya karena aku tak akan melepaskanmu. Ingat itu! Dan untuk kau tahu... kami berbeda. Kami bukan manusia."
"Hhh... kau bercanda!" protesku dengan suara bergetar tanda tak yakin. Matanya meradang marah.
"AKU TIDAK BERCANDA!" Raungnya, "Kami bukan manusia, kami serigala! Anjing neraka yang terlepas di dunia! Makhluk buas yang tak segan melakukan apapun demi apa yang kami inginkan! Dan kau salah satu apa yang aku inginkan! Mate-ku! Belahan jiwaku! Kau luna-ku!"
"L-luna mu?"
Pada akhirnya aku mengerti, semua puzzle di otakku akhirnya bertemu keping puzzle lainnya. Werewolf, belahan jiwaku adalah anjing neraka.
.
.
.
maaf buat yang ngerasa ini kependekan atau gimana, tp intinya gue udah nyoba buat setiap chapter buku ini lebih panjang. trs jg makasi yg udah ngasih masukan ataupun vote.
next chap sean's pov ayay
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Alpha [ON HOLD]
Hombres LoboKaralina Wiratama, seorang dokter muda keturunan Indonesia-Yunani memutuskan untuk menjalankan tugasnya di East Wolf. Beberapa keanehan sering terjadi di sana sampai semua rahasia itu terkuak dan kenyataan bahwa ia harus menjadi pendamping Sean, san...